Manipulasi Babak Baru Di RSU Djasamen Saragih
Proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Djasamen Saragih milik Pemerintahan Daerah Kota Pematangsiantar ini seolah tak pernah henti-hentinya dari masalah. Rencana pembangunan gedung rumah sakit ini selalu menuai kritikan dari berbagai kalangan. Sepertinya jadi ajang ‘silaturahmi’ tahunan bagi para pejabat dan pemborong.
Diduga, proses tender berbiaya sekitar Rp30 Miliar bersumber dari APBN yang dilakukan panitia saat ini sarat dengan KKN. Begitupun rencana pembangunan tetap akan dilakukan dimulai hari Rabu (6/10).
Modus Tender Ulang?
Informasi diperoleh The Local News bahwa kucuran dana sebesar Rp30 M, dibagi menjadi tiga item mulai dari perencanaan, pengawas/konsultan dan fisik. Ketika menelusuri kejanggalan ini melakukan konfirmasi kepada direktur rumah sakit dr. Ronal Saragih dengan singkatnya mengatakan tidak punya waktu menjawab pertanyaan untuk disuguhkan kepada masyarakat luas. “Enggak sempat, saya mau ke luar kota . Sama pimpro aja kalau mau konfirmasi,” katanya sambil buru-buru pergi. Bernardus Sinaga, SH selaku Pimpinan proyek (pimpro) mengatakan proses tender yang sudah dilakukan pada Agustus 2010 lalu dilakukan sebanyak dua kali hingga panitia mengeluarkan surat pengumuman hasil pelelangan dengan Nomor 13/PNT/VIII/APBN/2010 yang isinya bahwa panitia melakukan pelelangan ulang dengan cara mengundang ulang semua peserta lelang yang tercantum dalam daftar calon peserta lelang untuk mengajukan penawaran ulang secara lengkap. Karena perusahaan yang mengikuti proses tender ada yang tidak memenuhi syarat administrasi dan dinyatakan gugur.
Setelah melakukan tender ulang, selanjutnya panitia mengeluarkan pengumuman hasil lelang tertanggal 22 September 2010 dan menetapkan pemborong dari Jakarta PT. Leo Tunggal Mandiri yang beralamat di Jl. Letjend. Suprapto No. 29 L, RT 007 RW 002, Kelurahan Harapan Mulia Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat dengan direktur Leonard Silalahi, SE sebagai pemenang tender. Menurut panitia harga penawaran terkoreksi dari perusahaan ini sebesar Rp26.904.383.909,63 (Dua puluh enam miliar sembilan ratus empat juta tiga ratus delapan puluh tiga ribu sembilan ratus sembilan rupiah).
Soal proses tender yang dilakukan pun kata Bernardus Sinaga tidak ada masalah. Tapi kenapa sampai dua kali dilakukan?. “Tidak ada masalah, semua berjalan dengan baik. Memang ada perusahaan yang melakukan sanggahan, tapi sudah kita jawab. Peletakan batu pertama direncanakan hari Rabu ini oleh bapak Walikota,” tuturnya.
Sinaga memaparkan bahwa gedung yang akan dibangun ini akan berlantai 3 (tiga) dan 4 (empat) dengan masa pelaksanaan proyek direncanakan 85 (delapan puluh lima ) hari dan masa pemeliharaan selama 1 (satu) tahun pada luas bangunan kira-kira 5.400 M2.
Pemenang Tender Dinilai Tak Sah
Penuturan Pimpro proyek RSUD Dr. Djasamen Saragih ini berbeda pula dengan apa yang diutarakan salah satu kontraktor yang mengikuti proses lelang, Agusto Silalahi. Pria ini mengatakan banyak masalah dalam proses lelang yang dilakukan panitia. Menurutnya, panitia seharusnya mengerti apa yang dilakukan padahal biaya perencanaan teknis untuk proyek ini menelan dana berkisar Rp3 Miliar. Dikatakan bahwa Panitia juga diduga tidak memenuhi syarat-syarat berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 karena personil panitia juga silih berganti. “Hasil pantauan kita bahwa pemenang tender dan pemenang cadangan proyek RSUD dr. Djasamen Saragih bermasalah kerena melampirkan dukungan beton Ready Mix dari Kraton di KIM Mabar Medan. Apa ini tidak menyalahi spesifikasi teknis beton pak? Manipulasi apa lagi yang terjadi pada tender ini? Kontrak/SPMK nya saja belum ada, kenapa pula sudah kerja? Dasarnya apa?? Hancurlah…!,” beber direktur PT. Karya Agung Sejati Nadajaya ini.
Melihat permasalahan yang ada, ketua salah satu asosiasi pemborong ASPEKINDO Rudolf Hutabarat yang juga anggota DPRD kota Pematangsiantar mengatakan bahwa semua proses yang dilakukan harus berpedoman pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003. “Kalau kita sekarang mempermasalahkan soal Spek bangunan yang dibuat oleh panitia, itu seharusnya kita pertanyakan pada saat penjelasan kantor dan penjelasan teknis. Di situlah kita pertanyakan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan Standar Pembangunan di Indonesia,” katanya. Ketika ditanya apakah dia mengikuti perkembangan proses tender ini, dia mengaku mengetahuinya. “Kita tahu, itu kan proses tendernya diulang. Tender pertama gagal, lalu diadakan tender ulang yang pesertanya adalah perusahaan-perusahaan yang memasukkan penawaran pada saat tender pertama. Tidak boleh bertambah lagi,” ujarnya. Menjawab keraguan berbagai kalangan tentang masa pelaksanaan yang relatif singkat, Hutabarat menjawab bahwa itu ada ketentuannya. “Jika perusahaan pemenang tender tidak mampu melaksanakan pekerjaan sesuai batas waktu yang ditentukan, akan didenda. Jika sampai 31 Desember 2010 pekerjaan tidak selesai atau katakanlah hanya berjalan sekitar 50%, maka kontraktor harus mengembalikan semua dana pelaksanaan itu ke Pusat melalui Departemen Keuangan dan memberikan jaminan pemelaksanaannya,” tukasnya. Menyoal kenapa perusahaan yang dari luar daerah pemenang dalam tender, katanya karena memang di Siantar-Simalungu belum ada perusahaan yang mempunyai grade 7 yaitu klasifikasi perusahaan berdasarkan jumlah proyek yang akan dikerjakan sebagai syarat untuk mengikuti proses tender. “Itu harus perusahaan grade 7 yakni perusahaan yang mampu mengerjakan proyek di atas 25 milliar dan harus berbadan hukum. Tetapi perusahaan yang mengerjakan proyek di atas duapuluh lima miliar itu wajib melakukan sub-sub pekerjaan kontraktor kepada perusahaan-perusahaan lokal dalam rangka pembinaan. Sub pekerjaan itu tidak boleh pekerjaan utama atau pekerjaan struktur melainkan minor item seperti pembuatan taman, selokan-selokan yang ada, dan lain-lainlah. Semua proses sampai kepada pembangunan rumah sakit itu adalah penting, tetapi yang paling penting bagi saya adalah alat-alat kesehatan yang akan dimasukkan. Walikota harus memikirkan itu karena rumah sakit itu dibangun adalah untuk pelayanan yang maksimal kepada masyarakat,” sebut Hutabarat.
Mirip Kejadian Sebelumnya
Penerapan sistim pemerintahan sejak era desentralisasi atau biasa disebut dengan era otonomi daerah secara universal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikuatkan oleh UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana kebijakan ini diambil dengan tujuan agar jalannya roda pemerintahan lebih lancar di daerah-daearah. Sayangnya, harapan itu dominan pupus, kebijakan malah menjadi bumerang bagi sebagian daerah. Monopoli kekuasaan pun terkesan tumbuh subur. Padahal, berbagai produk hukum sudah dilegitimasi untuk menguatkan amanah desentralisasi ini dengan menata bagaimana bentuk wewenang dan tugas kepemimpinan di lembaga eksekutif, judikatif dan keterwakilan rakyat di lembaga legislatif. Fenomena seperti itu salah satunya terjadi di Kota Pematngsiantar.
Banyak masalah mencuat dikota berhawa sejuk ini dan kategorinya sangat serius. Setidaknya hal ini dapat dilihat dengan sederatan permasalahan yang tengah mencuat, pernah mencuat dan tenggelam lagi di tengah-tengah masyarakat. Gejolak politik dan hukum dari pelaksanaan tender perbaikan bangsal di Rumah Sakit Umum (RSU) pada tahun 2005 lalu menelan dana sekitar Rp1,9 miliar pun diselimuti masalah. Sayangnya, kendati lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan mantan Walikota Siantar, RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap dinyatakan bersalah karena terbukti turut bersekongkol memenangkan salah satu perusahaan sebagai pemenang tender, dan rentetan putusan KPPU tersebut oleh DPRD Siantar kemudian mengajukan kasus ini ke Mahkamah Agung agar dieksaminasi terkait pelanggaran sumpah dan janji jabatan pasangan sang mantan Kepala dan Wakil Kepala Daerah tersebut. Kebijakan DPRD ini setelah Panitia Khusus (Pansus) meminta pimpinan DPRD yang saat itu dijabat Lingga Napitupulu, Saud Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution mengakomodir hak angket. Hak penyelidikan umum ini pun sudah membuahkan hasil yang mana saat itu DPRD memutuskan memberhentikan mantan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap dari jabatan sebagai Kepala Daerah di Kota Pematangsiantar. Tidak tanggung-tanggung tindak lanjut proses pemberhentian pun dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) DPRD No 12/2008. saat itu juga demi memenuhi syarat prosedural sesuai UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tim DPRD mendatangi kantor Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu) guna bertemu dengan Gubernur, Syamsul Arifin agar menerbitkan surat rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai mekanisme pemberhentian tersebut. DPRD juga menyampaikan keputusan secara langsung kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kejaksaan Agung dan DPR-RI. Tapi naasnya, semua upaya hukum dan hasil karya politik DPRD ini hanya ‘isapan jempol’ belaka tanpa hasil apapun. Hingga memasuki babak periodeisasi jabatan kepala daerah keputusan pemberhentian tetap tak ‘bertaring’.
Banyak masalah mencuat di
Dampak Pelayanan
Apakah ada pengaruh pelayanan kesehatan terhadap pergantian Direktur RSU Djasamen Saragih? Jawabannya tentunya sangat berpengaruh. Pantauan The Local News di sekitar RSU Djasamen Saragih belakangan ini, situasi di rumah sakit sangat tidak menggairahkan seperti hari-hari sebelumnya. Para pegawai dan perawat terlihat tidak bergairah melayani pasien yang berobat kesana .
Pemko Siantar sendiri tampaknya berusaha menutup-nutupi perubahan pelayanan ini terhadap masyarakat dengan berilis sebuah berita melalui Badan Infokom Pemko Siantar yang menyebutkan aktifitas rutin di RSUD Djasamen Saragih berjalan dengan baik. Hal ini jelas pembohongan publik. Dengan kasat mata, kita dapat melihat kalau kualitas pelayanan terhadap masyarakat menurun akibat suasana kerja yang tidak kondusif sejak bergantinya kepemimpinan dari dr. Ria Nofida Telaumbanua MKes kepada dr Ronald Saragih. Padahal RSU Pematangsiantar ini sudah pernah ditetapkan sebagai Rumah Sakit Model Akreditasi. Sisi lainnya, Ria Telaumbanua juga saat itu kepada media massa memaparkan adanya intervensi yang memaksa dirinya untuk menyanggupi setoran dana sebesar Rp1,5 miliar yang diambil dari anggaran APBD RSU dr Djasamen Saragih tahun 2008 kepada Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
Konon, uang itu diduga akan digunakan untuk menutupi dana tunjangan fungsional guru. Saat itu Ria meminta membuatsurat resmi apa alasan penyerahan dana yang diambil dari mata anggaran triwulan III dan IV APBD. Tetapi permintaan itu gagal dengan konsekuensi dirinya terpaksa melepaskan jabatannya sebagai direktur di RSU Djasamen Saragih. Lantas siapakah wajah baru yang akan hadir sebagai direktur era kepemimpinan Hulman dan Koni?
Apakah ada pengaruh pelayanan kesehatan terhadap pergantian Direktur RSU Djasamen Saragih? Jawabannya tentunya sangat berpengaruh. Pantauan The Local News di sekitar RSU Djasamen Saragih belakangan ini, situasi di rumah sakit sangat tidak menggairahkan seperti hari-hari sebelumnya. Para pegawai dan perawat terlihat tidak bergairah melayani pasien yang berobat ke
Pemko Siantar sendiri tampaknya berusaha menutup-nutupi perubahan pelayanan ini terhadap masyarakat dengan berilis sebuah berita melalui Badan Infokom Pemko Siantar yang menyebutkan aktifitas rutin di RSUD Djasamen Saragih berjalan dengan baik. Hal ini jelas pembohongan publik. Dengan kasat mata, kita dapat melihat kalau kualitas pelayanan terhadap masyarakat menurun akibat suasana kerja yang tidak kondusif sejak bergantinya kepemimpinan dari dr. Ria Nofida Telaumbanua MKes kepada dr Ronald Saragih. Padahal RSU Pematangsiantar ini sudah pernah ditetapkan sebagai Rumah Sakit Model Akreditasi. Sisi lainnya, Ria Telaumbanua juga saat itu kepada media massa memaparkan adanya intervensi yang memaksa dirinya untuk menyanggupi setoran dana sebesar Rp1,5 miliar yang diambil dari anggaran APBD RSU dr Djasamen Saragih tahun 2008 kepada Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
Konon, uang itu diduga akan digunakan untuk menutupi dana tunjangan fungsional guru. Saat itu Ria meminta membuat
Membenahi Yang Bobrok
Tampaknya rumah sakit milik pemerintah ini selalu menjadi perhatian serius tidak hanya proses pembangunan yang direncanakan akan dimulai Oktober ini, tentang managemen dan pelayanannya juga oleh masyarakat dianggap bobrok. Penelusuran The Local News merunut keterangan para pasien yang di rawat di rumah sakit ini seperti pengakuan Boimen warga Tanjung Pinggir, dia sudah satu minggu berada di RSU ini tetapi tidak mendapat respon pelayanan dari tenaga medis layaknya orang sakit. “Apa karena kita orang yang tidak mampu ya?,” kata pria pensiunan karyawan kebun PTPN III ini. Hal senada juga disampaikan bapak Silalahi warga Parmonangan Tiga Balata Kabupaten Simalungun. Awalnya luka yang ada di kakinya cukup kecil karena hanya terhantuk batu. Tetapi ketika dibawa ke rumah sakit ini luka itu bukannya sembuh melainkan makin parah dan kondisi kakinya membengkak. Dia mengaku dokter yang merawatnya pun tidak memberikan keterangan rinci tentang penyakitnya. “Sakit saya ini jadinya sejenis infeksi yang yang sudah sampai ke tulang, itu kata dokter Guntur Perangin-angin,” ujar Silalahi. Selain tidak memberikan rincian diagnosa penyakit yang di derita, dr. Guntur Perangin-angin juga mengatakan bahwa rumah sakit tidak mampu lagi melakukan perawatan terhadap Silalahi. Meyarankan untuk berobat ke rumah sakit di Medan .
Kembalikan Aja Jabatan Direktur
Pelayanan kesehatan dan managemen rumah sakit ini mendapat kritikan keras dari Jansen Napitu, ketua Lembaga Pelaporan Aset dan Kekayaan Negara (Lepaskan). Napitu memberikan penilaian yang buruk terhadap rumah sakit ini.
“RSU itu sudah amburadul, dokter tidak bisa diperintah, kepala perawatan tidak becus. Dokter Ronal Saragih tidak mempunyai kemampuan dalam managemen membenahi rumah sakit. Kembalikan saja dia ke Dinas Kesehatan, rumah sakit itu harus dipimpin oleh orang yang memang mampu. Selain itu, dokter-dokter PNS yang ada di rumah sakit harus konsentrasi karena mereka digaji Negara dari uang rakyat. Jangan lebih mementingkan kepentingan diri sendiri dengan fokus ke rumah sakit swasta. Dokter juga jangan beranggapan bahwa perawat itu adalah pembantunya. Lain Dokter lain perawat. Mereka itu mitra. Tenaga medis perlu dibina karena kalau tidak punya etika” papar Napitu. Menyangkut pergantian direktur yang gencar-gencarnya dibincangkan masyarakat katanya lebih baik mengembalikan jabatan kepada dr Ria Telaumbanua. “Saya sangat setuju kembali dipimpin dr Ria karena Dr. Ronal Saragih tidak mempunyai kemampuan dalam managemen rumah sakit. Jabatan itu harus diberikan kepada orang yang mempunyai kapabilitas seperti dr Ria Telaumbanua,” tukas Jansen Napitu.
Wajah Lama Itu Sudah Bermasalah
“Pergantian silahkan dilakukan tetapi jangan lagi wajah-wajah lama lagi. Kalau bisa, wajah baru dan punya kemampuan managemen rumah sakit tentunya. Karena orang-orang baru bisa membuat suasana rumah sakit lebih fresh. Kalau wajah lama? Yah..kemelut lama pun bakal terjadi lagi deh disana,” tutur Ruli Silalahi, mahasiswa FKIP Nommensen.
Kami Minta Walikota Jangan Pilih Wajah Lama
Melihat kemelut yang selama ini terjadi di rumah sakit umum itu, kami selaku masyarakat dan pasien meminta ketegasan Walikota Hulman Sitorus supaya jangan melibatkan diri pada kemelut atau dendam lama antara sesame pejaba direktur. Sebaiknya mencari wajah baru orang Siantar yang memang punya prestasi dibidang manajamen rumah sakit. Karena bila yang lama dipertahankan akan memicu konflik sesame tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit kebanggaan siantar ini,” ungkap Mona Mariza warga Timbang Galung. (eno/ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar