Rabu, 09 November 2011

Impian Buruk Rakyat Siantar Simalungun Berbalut Laba BUMN/D & Swasta



Pernyataan impian buruk ini berkait dengan masyarakat, Pemerintah, terutama perusahaan BUMN, BUMD dan Swasta.  Sesuai posisinya, kebutuhan masing-masing pihak itu berbeda-beda. Namun yang kita ulas kali ini tentang mimpi buruk program Corporate Social Responsibility (CSR). Artinya, bagi hasil laba perusahaan pada masyarakat, dengan menyalurkan bantuan dana, baik berupa program kegiatan ataupun pemberian uang tunai.
Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan, diduga untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. CSR ini merupakan program yang harus dilakukan pelaku usaha BUMN, BUMD dan Swasta, yaitu kewajiban membagi hasil labanya kepada masyarakat.
Meski kebanyakan hanya sekadar bagi-bagi sembako. CSR juga membantu banyak hal bagi pemerintah. Pertama, pemerintah bisa tepuk dada karena sukses memaksa perusahaan ber-CSR ria. Kedua, dengan CSR, pemerintah kecipratan dana, dan ketiga, pihak swasta dilibatkan  bertanggung jawab mengatasi kemiskinan.  
Bagi perusahaan, tentu saja CSR mengundang pro dan kontra. Yang kontra, jelas mereka merasa terbebani. Yang pro, biasanya sedikit pula. Karena soal rakyat, terlebih yang miskin-miskin, dirasa bukan urusan perusahaan, apalagi tanggungjawab. Pasalnya, satu sisi perusahaan sudah pula setor pajak. Tapi terkadang perusahaan juga keras kepala. Dalam kondisi kemiskinan akut, menolak penyaluran CSR, tentu tak sedap. Seolah perusahaan hidup sendirian di dunia belantara. Mereka tidak menyadari, tanpa masyarakat, apakah perusahaan bisa hidup? Tanpa pembeli, bisakah perusahaan berkembang?
Maka pada 24 Agustus hingga 4 September 2002 lalu, digelarlah pertemuan World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg – Afrika Selatan. Dari WSSD disepakati bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan di dunia, dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup jadi lebih baik dan peningkatan perekonomian.
Sebagai resultasi dari kesepakatan WSSD, dibutuhkan three-sector partnership yakni kemitraan antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat/LSM. Dengan CSR, perusahaan tak lagi hanya berpijak dan konsen pada kondisi keuangannya saja. Dengan CSR, perusahaan harus mengembangkan kegiatan sosial dan penataan lingkungan. Laba tak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan harus berpikir, dan bertindak guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya berada.
Hal itu pun ditegaskan oleh Forum Ekonomi Dunia. Melalui Global Governance Initiative, digelar World Business Council for Sustainability Development di New York pada 2005. Tujuan utama MDGs, mengurangi separoh kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015 nanti. Patut dicatat, tujuan ini jelas mahaberat. Sebab seiring pertumbuhan dunia bisnis, mengapa kemiskinan toh malah bertambah massal dan makin parah akutnya.
Istilah CSR, pertama kali mengemuka dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Bowen ini menjawab ‘keresahan’ dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadop, karena bisa jadi penawar kesan buruk pengusaha yang terlanjur tertuduh sebagai pemburu uang yang tak peduli pada dampak pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati bersahaja, istilah CSR amat marketable karena nuansa heroiknya. Melalui CSR, pengusaha tak lagi perlu diusik ‘perasaan bersalah’. Tak lagi harus tersedak atas keping kemiskinan karena ulah bisnis langsung ataupun tidak. Maka atas jasanya, Howard pun dianugerahi sebagai ‘Bapak CSR’.
Dalam implementasinya, ternyata ada beberapa hal layak dikritisi. Pertama wujud CSR sebagian cuma santunan karitatif. Padahal tuntutan responsibility, tidaklah sesederhana karitatif. Responsibility yang arti harfiahnya tanggung jawab, konotasinya justru wajib. Pemahaman kita, bila rakyat tergusur, pasti ada yang menggusur.
Saat DPR RI mengetuk palu, CSR akhirnya masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).  Pasal 74 UU PT menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya sudah ada di UU PM. Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi, mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau  fasilitas penanaman modal  (pasal 34 ayat  1 UU PM).  
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik. Pro dan  kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam  Kadin  dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), amat keras menentang kehadiran pasal tersebut.
Isu CSR ini sedang meroket. Tapi masih diselimuti kabut misteri. Belum ada definisi CSR yang mudah diukur secara operasional. Beberapa UU CSR di Indonesia belum diikuti oleh peraturan di bawahnya yang lebih terperinci dan implementatif. Standar operasional mengenai bagaimana mengevaluasi kegiatan CSR juga masih diperdebatkan. Akibatnya, bukan saja CSR menjadi sulit diaudit, melainkan pula menjadi program sosial yang berdayuh wajah.
Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?  Biasanya alasan mereka bahwa CSR itu kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungannya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga dianggap memberi beban baru pada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggeruk keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada, maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah Konstruktif mengangkat topik CSR untuk memberi urun rembug pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum dan keadilan sosial.
Teringat pada perubahan lahan warga sudah banyak jadi real estate, merupakan penggalan kisah yang selalu temaram buram bagi warga. Bukan hanya dikerjai makelar tanah dan aparat, mereka pun harus hengkang. Bukan hanya sekedar hengkang, soal pekerjaan dan akses usaha pun musti rela dilepas. Siapkah jika pengusaha harus hengkang dari ranah bisnisnya seperti rakyat yang leluasa digusur-gusur? Lantas warga yang mendadak miskin karena kalah segalanya, etiskah mereka hanya disantuni model karitatif? Inikah heroisme responsibility yang diusung-usung itu? Minimarket dan real estate katanya tidak merusak ekonomi dan lingkungan. Tetapi entah kenapa ekonomi rakyat bertumbanganan dari hari ke hari.
Pebisnis yang merusak lingkungan juga diduga kuat setali tiga uang. Mereka sepakat bisa terima CSR sebagai kewajiban. Tapi tetap ada syaratnya. CSR boleh wajib, asal dibebankan pada pemerintah. Kendati untung tambang bergunung-gunung, laba perkebunan BUMN membumbung dan untung besar pabrik skala menengah dan raksasa, sebagian itu tetap tak rela CSR diambil dari labanya. Persis saat dulu butuh BLBI (badan likuidasi Bank Indonesia), untuk urusan CSR pun mereka mengadu ke Wapres RI. Sementara orang miskin yang hidupnya remuk, mengadu pada siapa? Mengenal orang miskin, ujung-ujungnya memang rogoh kocek. Tapi mengenal petinggi politik bukan hanya sekedar politik, tapi akhirnya berbagai akses kemudahan bisa diperoleh.
Banyak perusahaan hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali dan merasa telah pula melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan menjalankan CSR berdasarkan ”copy-paste design” atau sekadar ”menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan. Alhasil, beberapa program CSR di satu wilayah,  jadi seragam dan seringkali tumpang tindih.
Alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR seolah berubah jadi Candu (menimbulkan ketergantungan pada masyarakat). Jadi bahan sandera ( alat masyarakat memeras perusahaan) dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).


 BUMN, BUMD dan Swasta Minim Keperdulian
Menurut catatan Konstruktif, ada beberapa perusahaan BUMN, BUMD dan Swasta skala menengah keatas, beroperasi dan meraup keuntungan yang tak sedikit dari Kota Pematangsiantar dan Simalungun. Antaral lain, PTPN, Bank milik Negara dan swasta, Toba Pulp Lestari, Sipef, STTC, Telokomsel, PT Pos  dan Giro, Allegrindo dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk mengetahui apakah program pemberdayaan masyarakat diberbagai sektor melalui CSR itu, Konstruktif menelusuri beberapa diantaranya seperti  PT  Pos dan Giro Pematangsiantar, melalui Manajernya Irwan Nasution sekaligus humas,  mengakui dirinya memang tau program CSR. Namun, amat mengejutkan pula bahwa program itu sama sekali tak pernah dilakukan perusahaannya.   Sampai saat ini kami tidak mempunyai tim penyalur CSR, karena sepengetahuan saya, penyaluran CSR adalah sistem sentralisasi ke pusat,” aku Irwan Nasution (17/10).   
Kalaupun misalnya perusahaan pengantar surat dan giro itu akan menyalurkan CSR dikemudian hari, ironisnya, Irwan pun tak bisa berkata banyak. Pasalnya kata Irwan sekalipun ada CSR dari perusahaannya, itu pun harus dikirimkan pula ke kantor pusat. Dan saya tidak tahu tentang itu. Apakah berbentuk program ataupun kegiatan,” sebutnya dengan paras wajah agak bingung. 
Kemudian, karena ketatnya hubungan birokrasi antara dunia Pers dengan pihak BUMN, terpaksa Konstruktif memenuhi permintaan pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyediakan sepucuk surat sebagai bahan konfirmasi. Keterangan diperoleh dari BRI Kota Pematangsiantar diwakili Arnold Pakpahan dan Supendi selaku Asisten Manager Business Mikro, malah terkesan tidak tahu soal CSR. Alasan mereka, berdalih baru pindah tugas ke Pematangsiantar dalam kurun 1 tahun ini.
Kedua petinggi BRI itu mengakui tiap tahunnya, CSR memang disalurkan ke masyarakat. Namun soal bagaimana penyalurannya katanya justru diatur pimpinan pusat BRI. Begitu pula soal berapa dana disalurkan di Pematangsiantar, malah sama sekali tak tau. Anehnya lagi, kalau soal dana CSR secara global di Indonesia,  mereka berdua justru lebih tau pula yaitu Rp1, 2 Trilliun. “Khusus Kota Pematangsiantar, kami tidak tahu. Karena Saya dan rekan Saya ini, baru bertugas disini,” kilah mereka.
Namun kata mereka tahun 2011 ini, BRI menawarkan bantuan pengadaan fasilitas umum di Dinas Pasar. BRI beri bantuan berupa tong sampah sebanyak 102 buah, keranjang sampah 12 buah, dan rehabilitasi kamar mandi di Pasar Dwikora. Jumlah permohonan dana di dinas pasar itu sebesar Rp42 juta,” sebut mereka sembari berkata pelaksana penyalur CSR itu dari pihak BRI. Penyaluran itu juga melibatkan tim independen atau masyarakat dan tim tekhnis dilapangan tetap dari BRI.
Sedangkan keterangan diperoleh dari Kepala Seksi Operasional Bank Sumut cabang Kota Pematangsiantar, Sufri AP Lubis, mengatakan usaha tempatnya bekerja itu, sudah melakukan program CSR dari tahun ke tahun, “Hal ini kami lakukan sebagai bentuk kepedulian pada masyarakat sekitar,” jelasnya.
Hanya saja program itu tampak belum maksimal. Kata Sufri, bentuk program yang dilakukan, yaitu memberi bantuan modal bagi pelaku usaha kecil dengan kutipan bunga utang 1,5 persen.  Seperti usaha  tenun ulos batak di Jalan Balige II Kelurahan Martimbang. “Salah satu penerima bantuan dari kita adalah ibu Gerhana Br Manik. Besaran dana yang kami beri dari  1 sampai 5 juta rupiah.
Tapi bantuan ini kami beri khusus kaum perempuan,” imbuhnya. Alasan kenapa pada kaum pertempuan, Sufri berujar karena perempuan itu bisa memegang uang. Jika pria, ada keraguan. Soal pinjaman modal ini, lanjut Syufri Lubis, tidak memakai agunan. “Cuman sistem pengembaliannya dengan bunga 1, 5 persen per tahun,” akunya.
Kebijakan penentuan penerima bantuan modal UKM dari Bank SUMUT itu,  kata Sufri pihaknya terlebih dulu menerima data dari pemerintah melalui Kecamatan dan Kelurahan. Penyalurannya diberi tiap tahun.
Tak hanya soal pinjaman lunak, bentuk lain penyaluran CSR dari Bank SUMUT,  kata Sufri ada juga berbentuk pembangunan tugu “Selamat Datang” di depan Makam Pahlawan. Membuat lukisan ornamen di bangunan Rumah Sakit Umum Daerah dr Djasemen Saragih.
Ketika ditanya apakah CSR yang diberikan sudah memenuhi peraturan berlaku, Syufri AP Lubis mengaku tidak mengetahui persis dan yang pantas menjawab pertanyaan dilontarkan Konstruktif, adalah kewenangan atasannya.  Tapi dia meyakinkan bahwa perusahaannya sudah memenuhi hal tersebut. “Saya rasa sudah direalisasikan 20 persen’’ tandasnya.
Penjelasan Syufri soal tim teknis dari Bank SUMUT dalam hal  penyaluran CSR ini, katanya tim yang dibentuknya dari devisi Account Officer Bank Sumut. “Tim atau panitianya  berasal dari Bank Sumut. Teknisnya, mereka melakukan pendataan  sampai realisasi bantuan permodalan,” ujarnya.
Menyinggung soal perekrutan tenaga kerja di Bank penyimpanan uang Pemko Pematangsiantar itu, katanya 70 % berasal dari Kota Pematangsiantar. “Saya sendiri anak Siantar,” tukasnya sembari berkata anak Siantar yang dipekerjakan rata-rata jadi staf.
Meminta pendapatnya tentang dampak positif dan negatif program CSR itu, Kepala Seksi berwajah tampan ini mengatakan dampak positifnya,  masyarakat bisa mengenal jasa pelayanan perusahaannya, seperti membantu permodalan.
Namun, dampak negatifnya, Syufri Lubis enggan beri penjelasan dan menyerahkan penilaian itu sepenuhnya pada masyarakat. “Biarlah masyarakat menilai, bagaimana kinerja, pelayanan serta sumbangsih kami kepada masyarakat kota Siantar,” tutupnya.
PT Sipef Masih ‘Arogan’
Hasil penelusuran Konstruktif ke salah satu Perusahaan milik Swasta skala raksasa yang berkiprah di Simalungun, PT Sipef, bergerak di bidang Perkebunan Kelapa Sawit, lebih kerap pula dianggap masyarakat sebagai perusahaan ‘super arogan’.
Pasalnya, masyarakat  tak diperbolehkan mengembalakan  lembu  di sekitar kebun. Sedangkan hampir 80 persen  pula mata pencaharian masyarakat beternak lembu. “Kebijakan PT Sipef ini tidak sebanding dengan tanggung jawab sosial dari manajemennya. Konon lagi  soal penyaluran CSR,” ungkap Agus Butarbutar SH, aktivis pendamping perjuangan masyarakat menentang kebijakan PT Sipef.
Bahkan,  menurut pantauan Agus Butarbutar, bahwa Sipef bertindak pelit.  Baru-baru ini masyarakat mendapat mesin pencacah dari Sipef sebanyak 1 unit dalam satu Kecamatan. Dinilai, itu tidak logis dan sarat lobi-lobi dengan oknum pemerintahan. “Secara rasional, apakah memungkinkan 1 mesin menfasilitasi 3000 orang peternak lembu di sekitarnya?,” ungkapnya mengkritisi.
Agus Butarbutar menegaskan, pemberian mesin itu bukanlah pelaksanaan CSR.   “Sangat  salah dan tidak sesuai aturan. Pelaksanaan CSR itu harus sesuai aturan, khususnya UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” tegasnya. 
Aktifis sarjana Hukum itu menjelaskan bahwa pemberian CSR,  tidak hanya berbentuk pemberian, namun lebih difokus pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.  Sementara perusahaan Sipef lebih dari 5 tahun beroperasi dekat tempat tinggal warga.   Meski demikian, ke depan diminta agar manajer Sipef bergandeng tangan dengan masyarakat Simalungun memajukan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan. Sayangnya, ketika hal ini hendak dikonfirmasi ke pihak manajemen PT Sipef, ternyata cukup sulit. Tak seorang pun yang bisa di konfirmasi.
 Pemda Belum ‘Tepuk Dada ‘
Pelaksanaan CSR yang dilaksanakan sejumlah perusahaan milik negara maupun swasta seperti di Siantar dan Simalungun, tak ada diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Hinga sekarang, pihak perusahaan biasanya melaksanakan sendiri program CSR kepada masyarakat. Karena itulah, perjanjian pelaksanaan CSR antara pihak perusahaan dengan dua pemerintah daerah itu hingga sekarang tak ada secara khusus.
Konfirmasi melalui telepon selular, Kepala Dinas Pendapatan Pemko Pematangsiantar Rabu (19/10), sekitar pukul 14.05 Wib, via SMS memastikan bahwa segala sesuatu menyangkut CSR,  tidak ada disalurkan melalui APBD. “Tidak ada CSR yang disalurkan melalui APBD,” jawab SMS Kadispenda itu.
Menelusuri lebih jauh ke salah satu Dinas teknis di Pemerintahan, yang harusnya bermitra dengan perusahaan dalam hal pemanfaatan dana CSR itu, seperti Dinas Pemuda,  Olah Raga dan Budaya Pariwisata (Disporabudpar)  Pemko Pematangsiantar, malah sama sekali tidak menerima. “Padahal program CSR itu bisa dirasakan langsung masyarakat luas dan memberi kontribusi terhadap sosial kemasyarakatan ataupun lingkungan sekitar, tanpa pandang bulu," ujar Tuahman Saragih,  Kepala Disporabudpar saat ditemui di ruang kerjanya Jalan Singosari Pematangsiantar (18/10).
 Meskipun CSR belum terwujud, namun kata Tuahman visi dan misi Disporabudpar  selalu mengutamakan program Pemuda dan Olahragawan berkualitas, beriman, bernuansa kebangsaan, jiwa patriotisme, persaudaraan, disiplin dan terampil serta mampu menjawab tantangan zaman.

Kennedy Parapat SE, Ketua Komisi II DPRD Pematangsiantar, mengaku CSR itu merupakan kewajiban seluruh badan badan usaha milik Negara maupun swasta, memberi kontribusi pada  masyarakat sesuai kebutuhan. Dia meminta kiranya pemerintah menjalin hubungan sinergis dan mengingatkan pengusaha untuk bertanggung jawab pada masyarakat lingkungan sekitar dan masyarakat umum.
Pria yang cukup vokal menyoroti kebijakan Pemerintahan Kota (Pemko) Pematangsiantar itu menegaskan bahwa CSR itu jelas memiliki payung hukum tertinggi yang mengikat.  "Semua sudah di atur mulai dari UU 45, dan peraturan per undang-undang an lainnya," katanya.
Hanya saja sejauh ini DPRD mengaku belum memiliki data ataupun laporan, baik dari Pemko  dan perusahaan yang ada di Kota Pematangsiantar dalam hal penyaluran CSR. Makanya, Ketua Komisi II itu menghimbau setiap perusahaan melalui pelaksana teknis manajemennya, memberi laporan sebagai wujud  membuka hati, dan semangat membangun lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. “Baik itu penyaluran melalui pemerintah ataupun langsung pada masyarakat,” tukas Kennedy. 
Dia juga menyatakan siap mengakomodir aspirasi bila ada perusahaan, tidak mau tau kehidupan sosial masyarakat disekitarnya.  Kennedy Parapat berjanji menindaklanjuti dengan menggandeng Pemko Pematangsiantar sebagai lembaga eksekutor.
Selain di Pematangsiantar masih lemah, di Kabupaten Simalungun juga mengalami demikian. Sejauh ini Pemko Pematangsiantar belum membuat regulasi berbentuk Perda. Sehingga penyaluran CSR pun masih acak.  Apalagi berharap disalurkan melalui APBD pun tak akan  terwujud.
Bagaimana keterangan diperoleh dari instansi teknis di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Simalungun, Kepala Dinas Pendapatan Asset Daerah melalui Kepala Seksi Pendapatan Raya Ginting, mengatakan pihaknya tidak menerima dana berbentuk CSR.
Katanya uang diterima dari perusahaan seperti PTPN, Bank Sumut dan  Inalum merupakan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan, termasuk penerimaan pendapatan asli daerah yang sah.  Sedangkan dari Telkomsel, hanya menerima retribusi  dan pajak iklan
Jawaban sama juga terucap dari Kepala Dinas Koperasi dan UKM (Usaha Kecil Menengah) Simalungun melalui sekretarisnya, Dra  Mahdalena Purba mengatakan dinasnya tidak pernah mendapat dana dari CSR. Katanya, Dinas Koperasi juga tidak pernah mengajukan permohonan seperti pada TPL. Mahdalena pun berharap melakukan koordinasi pada pimpinan, agar mengintensifkan para pelaku UKM, bisa merasakan bantuan baik dari TPL, BANK, PLN, PT Telkom. 
Sama dengan Dinas Pemuda dan Olah Raga Simalungun, mengaku tidak menerima CSR. Hal itu diutarakan Ir Raja Sianipar selaku Plt Kepala Lingkungan Hidup. Nada itu pun terungkap pula dari Garinsen Saragih selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga, serta Zonny Waldi S Sos selaku Kepala Dinas Sosial.
Namun, Dinas Kehutanan Simalungun melalui Kepala Dinasnya Ir Jan Waner Saragih Msi, mengaku bahwa penerima CSR dari hasil usaha hutan dikelola perusahaan swasta, diberi pada masyarakat sekitar. Proses peyaluran katanya, melalui verfikasi tim independen yang diketuai Dr Polin Pospos SE. Bentuk programnya diberi nama pemberdayaan masyarakat. Sistim penyalurannya   tergantung proposal yang diajukan masyarakat. “Tidak menentu berapa dana yang akan diterima masyarakat, tergantung apa jenis kegiatan yang diajukan melalui dinas kehutanan,” ujar Jan Waner.
Begitu pula keterangan dari Kepala Dinas Pertanian Simalungun Ir Amran Sinaga melalui Sekretarisnya Ir Manthus Saragih mengatakan masyarakat penerima CSR diberikan pada Bina Mitra dari PTPN IV. Sejauh ini bantuan terdiri dari bibit padi dan  jagung. “Dinas ini hanya menfasilitasi para bina mitra ke PTPN. Soal  pertanggungjawaban bina mitra, langsung kepada PTPN,” ujar Manthus.
Kepala Kantor Perizinan Terpadu (PIT) Kabupaten Simalungun, Sudiahman Saragih,SH, mengaku legalitas perizinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ BUMD dan Swasta Nasional tak diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Karena BUMN mengantongi ijin dari pemerintah pusat yang berlaku secara nasional. Selain menjadi acuan penerbitan ijin usaha tertentu, Perda juga dimaksudkan untuk menginventarisir jumlah badan usaha yang memiliki izin atau tidak. Terutama yang berada di kecamatan-kecamatan.
Pria mudah senyum ini menambahkan, regulasi hukum dalam penerbitan izin sejumlah usaha di Simalungun, disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Inventarisir Perda yang ada masih terkait penerbitan ijin terpadu di Simalungun antara lain: Perda No 31 Tahun 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Perda No 12 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Gangguan/HO, Perda No 14 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Keparawisataan, Perda No. 27 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pengambilan Pemanfaatan Air Bawah Tanah.
Mengingat masih banyaknya hal-hal yang belum diatur dalam Perda tersebut, kini Kantor PIT tengah membuat sejumlah revisi dan perbaikan guna mengakomodir berbagai perubahan yang ada. Saat ini prosesnya masih dalam tahap klarifikasi oleh pemerintah atasan.
Gugat Class Action
Menanggapi fenomena itu, tanggapan dari Advokad Siantar Miduk Panjaitan SH menekankan CSR itu adalah kewajiban perusahaan pada masyarakat. Perusahaan harus menyisihkan  dana hasil labanya sesuai ketentuan UU. Masyarakat wajib dapat imbal balik jasa dari perusahaan.
Menurutnya, penyaluran CSR, baik melalui Pemerintah atau tim independen, turut juga diawasi perusahaan terkait atau lembaga yang dihunjuk jadi pengawas program.
Katanya, seandainya, CSR tidak disalurkan atau perusahaan membandel dan tidak mau tahu, maka masyarakat berhak melakukan gugatan perdata dengan cara class action melalui Pengadilan Negeri. “Gugatan itu sangat wajar dilakukan bila melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” bebernya.
Kemudian masih kata Miduk, pihak pengadilan pun, akan melakukan proses hukum, dan bila bersalah, akan diberi sanksi berupa Peringatan, Hak perusahaan itu akan dibatasi, Lembaga ekonomi yang melakukan penilaian pada perusahaan itu, juga akan dibatasi.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar