Di Siantar Simalungun Orang Miskin Dilarang Kaya..!
Kemiskinan adalah keadaan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan itu masalah global, karena menyebar di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara lainnya melihat dari segi moral dan evaluatif.
Pemerintah secara nasional sudah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan. Ragam program subsidi dilakukan. Mulai dari istilah Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesmas), memberi beras miskin (raskin), subsidi bantuan pendidikan keluarga miskin (BKM) dan banyak lagi program sosial lainnya yang semua itu bertumpu demi pengentasan kemiskinan.
Walaupun seabrek program subsidi itu, penduduk miskin di negeri ini masih cukup tinggi. Karena program itu belum mampu menjawab faktor penyebab dan akar masalah kemiskinan itu sendiri. Ada beberapa masalah yang berlangsung di tengah masyarakat sehubungan dengan kemiskinan. Antara lain ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal, khususnya pangan yang sehat dan bergizi, rumah yang standar dan sehat, pakaian dan belanja perobatan.
Kemudian, tidak mampu menggenapi masa yang akan datang seperti pendidikan anak, investasi modal usaha dan lain-lain sehingga sangat dimungkinkan kemiskinan turun-temurun dihadapi. Tak hanya itu, masyarakat miskin juga tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang dapat diandalkan dan tidak memiliki ruang gerak serta waktu belajar demi meningkatkan SDM-nya. Masyarakat miskin itu sepertinya tidak menyadari kemiskinan yang tengah dialami.
Ironisnya, tujuan mulia pengentasan kemiskinan itu tidak disambut dengan kesadaran bahkan integritas para pelaku penyodor program itu. Tanpa rasa aib, ada oknum-oknum tak bertanggungjawab, bahkan blak-blakan menyelewengkan distribusi raskin. Sehingga jadi pesakitan di ranah hukum. Ada pula penerima bantuan Jamkemas, bantuan murid miskin yang dinikmati kaum ekonomi mapan.
Momok miskin itu seolah jadi komoditi yang harus dimanfaatkan segelintir orang untuk meraup keuntungan tersendiri. Sedangkan yang miskin tetap terpuruk di lingkaran kemelaratannya. Seolah orang miskin itu dilarang keras untuk kaya. Banyak kalangan, utamanya pengamat sosial kemasyarakatan, berani debat terbuka menyangkal suguhan statistik angka kemiskinan yang dinyatakan telah menurun. Padahal, jika mengunjungi kondisi nyata kehidupan kaum miskin itu, justru banyak ditemukan. Bukan hanya di pemukiman kumuh, di pinggiran jalan sekalipun amat banyak berlakon sebagai peminta-minta.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan penduduk miskin Maret 2009 berjumlah 32,53 juta (14,15 persen). Berarti jumlah penduduk miskin itu berkurang 1, 51 juta jiwa. Di daerah perkotaan, turunnya lebih besar daripada perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sedangkan di perdesaan berkurang hanya 0, 69 juta orang.
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Terhitung Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Begitu juga Maret 2010, sebesar 64,23 persen. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2009-Maret 2010, nampaknya berkaitan dengan faktor-faktor inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar 3,43 persen.
Data itu merupakan indikator global yang tersusun rapi dalam pembukuan. Apakah akurasi data itu sesuai kenyataan di daerah, seperti di Kota Pematangsiantar dan Simalungun. Tak lepas juga warga miskin daerah lain di Sumatera Utara.
Kenyataan Diskriminasi Orang Miskin
Dominan disayangkan, bahwa di tingkat daerah, ternyata data kemiskinan itu dijiplak langsung dari data BPS setempat. Seperti di Kota Pematangsiantar dan Simalungun. Dari pengakuan beberapa Lurah-nya berapa jumlah warga yang miskin di kawasannya tidak berdasar sensus yang dilakukan. Namun suguhan data dari BPS.
Sehingga akurasi data miskin belum bisa diyakini kebenarannya. Pasalnya, tak sedikit pula warga yang jerit histeris menahan lapar karena tak dapat jatah raskin, termasuk enggan berobat karena tak punya Jamkesmas. Artinya, upaya menanggulangi kemiskinan itu, sikap Pemerintahan Daerah masih manggut pada program nasional. Tak ada upaya signifikan pemberdayaan ekonomi lemah dan lapangan kerja nyata bagi kaum lemah.
Kritisan dari aktivis perjuangan rakyat jelata Milton Napitupulu, menekankan upaya mengatasi kemiskinan ini masih berkutat secara general. Bukan pula secara faktual berdasar daerah dan sektornya. “Pengentasan kemiskinan itu belum menemukan strategi yang tepat di daerah,” tukasnya.
Milton mencermati, yang kerap terjadi bahwa banyak pihak hanya debat kusir membicarakan orang miskin. Bukan langsung tatap muka bicara dengan orang miskin. Sehingga orang miskin, tetap jadi obyek kemiskinan.
"Dengan dijadikan orang miskin menjadi objek, secara tidak langsung, menjadikan orang miskin itu, tetap terpuruk dalam kemiskinan. Kenapa tidak, sebab orang miskin tidak memiliki muatan spritual dan aktualisasi diri untuk keluar dari kemiskinan. Pengentasannya mengambang. Pemerintah sama sekali tidak mengetahui apa dan bagaimana penyebab serta solusi yang tepat," kritik Milton.
Ketika ditanya, apakah dirinya ketahui data statistik masyarakat miskin di wilayah Pematangsiantar-Simalungun, Milton sama sekali tidak tau, karena selama ini dia turun langsung ke orang miskin, bukan berdasar statistik.
Begitu pula soal situasi masyarakat miskin, yang pengentasannya tidak objektif berdasar letak wilayah dan lokasi , dalam pengamatan Milton justru jadi peluang bisnis menguntungkan oknum tertentu. “Komoditi miskin Ini tak sulit dimanfaatkan oknum tertentu, seperti usaha finansial, koperasi bersifat rentenir, semua itu seolah mengatas namakan membantu keterpurukan ekonomi lemah,” tukasnya.
Kenyataan kritisan disampaikan Milton itu terbukti dari pengakuan warga miskin yang dimarjinalkan Pemko Pematangsiantar Nuraini Siahaan, warga kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba. Nuraini mengaku selama 13 tahun tinggal di daerah pemukiman dekat penampungan sampah, sama sekali tak pernah dapat bantuan apapun dari pemerintah. Baik raskin, Jamkesmas, Elpiji bersubsidi dan sebagainya. Ibu usia lanjut itu mengeluh sama sekali tidak menerima dan tidak pernah mendapat penawaran bantuan apapun dari Kelurahan atau jajaran dinas lainnya.
Upaya mendapat bantuan itu sudah sering dilakukan Nuraini Siahaan. Dia mempertanyakan langsung ke pihak kelurahan. Tapi Nuraini tidak dapat sambutan baik dari pegawai kelurahan. Alasan dari pegawai kelurahan malah menyakitkan hatinya. Menurut penuturan nenek yang hidup sebatang kara ini bahwa dirinya kata pegawai kelurahan itu sepantasnya jadi tanggungan para anaknya. “Sampai nangislah aku pulang kerumah gara –gara dibilang kayak gitu. Sama siapa aku mengadu, aku pun sudah hidup sendirian disini,” sedih Nuraini.
Hal miris juga terungkap dari warga, boru Purba mengatakan dirinya dan 20 Kepala Keluarga (KK) lainnya, sama sekali tak dapat bantuan apapun dari pemerintah. Anaknya yang masih mengecap pendidikan di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, katanya juga tak pernah dapat bantuan siswa miskin.
Sedangkan warga tanjung pinggir itu tau, bahwa warga di luar daerah tempat tinggalnya dapat bantuan. “Pemerintah pilih bulu menyalurkan bantuannya. Kami yang miskin ini tak pernah diperhatikan. Kami tak pernah dapat bantuan apapun. Mungkin pemerintah tidak menganggap kami sebagai manusia. Jadi omong kosong semua pendataan yang dilakukan pemerintah. Bolak-balik petugas datang mendata kami, tapi apa tujuannya, kami tidak tau. Asal kami tanya, jawab mereka untuk program mendapat bantuan,” keluh boru Purba dengan nada kesal.
Menanggapi kemiskinan itu, keterangan dari Lurah Pondok Sayur, Siantar Martoba Pematangsiantar Sardi Sinaga SH, menyatakan tahun 2011 ini warga miskin di wilayahnya berjumlah 357 kepala keluarga (KK). Angka itu diketahui masih sesuai laporan BPS.
Sejauh ini katanya bantuan yang disalurkan masih berupa beras miskin sebanyak 15 kg per KK. Selain itu, program penanggulangan lainnya dengan cara terjun langsung membaur ke kelompok tani, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan peningkatan usaha kecil dan menengah.
Dia mengaku sudah 3 tahun jadi Lurah mengamati kemiskinan itu akibat minim peluang kerja dan pendidikan. Masyarakat miskin di daerahnya belum membudayakan hemat pengeluaran uang. “Kebanyakan mereka kerja hanya bertukang, namun biaya pribadinya boros, seperti minum tuak dan merokok,” ungkapnya.
Walau begitu, dia tetap memberi informasi bila ada lowongan kerja pada warga miskin di daerahnya. Lurah ini tak mau lelah ajarkan warganya bergiat ikuti program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
Ironisnya, wakil rakyat dari Kota Pematangsiantar, Asbol Sidabalok, Anggota Komisi III, mengatakan legislatif tetap melakukan fungsi pengawasan pada Pemko Pematangsiantar dalam menyalurkan bantuan warga miskin. Namun soal data statistik warga miskin di Pematangsiantar, dewan yang diusung Partai Damai Sejahtera (PDS) itu, mengaku tak memilikinya. Sehingga fungsi pengawasan cukup minim. “Data itu hanya ada di Pemerintahan Kota Pemtangsiantar, melalui BPS dan di masing-masing Kelurahan,” tukasnya.
Asbol menjelaskan pelaporan penyaluran bantuan warga miskin itu disampaikan pada DPRD, sifatnya per triwulan. Sehingga, Asbol bisa tau berdasar laporan itu.
Ketika ditanya apakah DPRD pernah melakukan pengawasan langsung warga miskin penerima bantuan, Asbol Sidabalok juga mengaku tidak pernah. “Kita tau kebenarannya, jika ada laporan warga ke DPRD. Tapi sejauh ini belum laporan dari masyarakat,” sebutnya.
Anggota Dewan berkulit sawo itu, juga mengaku tidak mengetahui apa saja jenis bantuan pemerintah pada warga miskin. “Aku tidak tahu semua, apa saja jenis bantuan warga miskin itu,” ketus Asbol saat dikonfirmasi lewat telepon selulernya, Kamis (3/11) sekitar pukul 18.45 Wib.
Terlepas upaya penanggulangan kemiskinan dari segi pemberdayaan, Konstruktif juga mengutip Informasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pematangsiantar bagaimana kebijakannya memaksimalkan layanan kesehatan masyarkat miskin. Sesuai data yang ada di Dinas ini angka kemiskinan sudah mencapai 53.950 jiwa. Seperti lainnya, data itu juga diperoleh dari BPS tahun 2008 dan jadi Kuota yang ditentukan KEMENKES RI. Sedangkan statistik 2010 hingga 2011 belum jelas.
Kepala bidang pelayanan jaminan kesehatan dan sarana masyarakat Dinkes Pematangsiantar, Januarito Pardede, SKM, masih berpijak pada kebijakan umum tujuan program kesehatan masyarakat miskin, dari segi layanan kesehatan ekonomi lemah.
Disebut, penyelenggaraan layanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai arti penting dengan alasan pokok, menjamin terpenuhnya keadilan sosial. Sehingga pelayanan kesehatan, amat mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 dan 5 kali lebih tinggi, dibanding keluarga yang tidak miskin. “Di sisi lain penyelenggaraan itu mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010,” katanya.
Pengentasan kemiskinan itu dalam hal kepentingan politis nasional, katanya tak lain menjaga utuhnya integrasi bangsa meningkatkan pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin. Kepentingan politis internasional juga menggalang kebersamaan memenuhi komitmen global, menurunkan angka kemiskinan melalui upaya kesehatan keluarga miskin.
Hasil studi yang dilakukan petinggi Negara selama ini, katanya upaya kesehatan penduduk yang baik, merupakan cara merangsang pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Maka langkah mengatasi kemiskinan itu pun akan berhasil.
Kebijakan yang tengah diterapkan Dinkes Siantar upaya pelayanan kesehatan, katanya memerlukan penyelesaian menyeluruh dan menyusun strategi perduli kesehatan warga miskin. Pelayanan kepedulian itu, katanya meliputi upaya membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin, seperti TBC, malaria, kurang gizi, dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.
Lebih jauh dikatakan, pihaknya juga meningkatkan penyediaan serta efektifitas pelbagai pelayanan kesehatan bersifat non personal, seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan, termasuk penyediaan obat, keamanan dan fortifikasi makanan.
Tak hanya itu, kata Januarito Pardede, Dinkes Siantar senantiasa meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan warga ekonomi lemah. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat miskin. “Masalah kesehatan bukan masalah pemerintah saja, melainkan masalah masyarakat itu sendiri. Karena itulah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan,” harap Januarito.
Dia juga memastikan, masyarakat miskin dikota Siantar saat ini bisa mendapat pelayanan kesehatan gratis, baik memeriksakan kesehatan, berobat jalan, opname dan pendistribusian obat-obatan, yang diperoleh di Puskesmas, RSU Djasamen Saragih, bahkan RSU Haji Adam Malik atau RSU Pirngadi Kota Medan, dan sampai ke Rumah Sakit di Jakarta.
“Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2004, diprakarsai Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan. Banyak masyarakat miskin terbantu program kesehatan gratis ini. Spesifik mendapatkan obat-obatan, Jamkesmas memberi layanan obat Generik. Kepatenan obat Generik ini tidak jauh berbeda dengan obat lain yang harganya mahal,” ucap Januarito memastikan.
Menyangkut sumber anggaran dana pelayanan kesehatan masyarakat miskin itu katanya dominan dari Pemerintah Pusat. Untuk tahun 2011, Pemerintah Pusat mengucurkan dana Jamkesmas sebesar Rp712.140.000. Pengelolaan dana itu digunakan untuk pengadaan sarana pelayanan kesehatan berupa alat penunjang pemeriksaan kesehatan, obat-obatan, opname dan sebagainya. Jika dana itu lebih atau sisa, maka Dinkes melalui Bidang Jamkesmas wajib mengembalikannya ke APBN.
Mengenai sosialisasi Jamkesmas ini, Januarito berujar baru-baru ini Dinkes Siantar kembali lakukan sosialisasi, melibatkan para Lurah memberi kartu Jamkesmas ke warganya. “Setelah itu tertata rapi, barulah kita layani dengan baik,” tukasnya. (*)
Pemberdayaan Kemiskinan Masih ‘Miskin’
Kalau dari Nagori Dolok Marlawan Kecamatan Jorlang Hataran, Kabupaten Simalungun Puddin Simajuntak selaku Kepala Desa Nagori, memaparkan bila bicara kemiskinan didaerahnya, secara kriteria tidak bisa dikatakan miskin. Bisa dilihat dengan apa yang dimiliki, yakni warganya tidak lagi berlagak miskin. “Tapi kalau kita perhatikan kemampuan SDM mereka, kebanyakan tidak mampu,” sebutnya.
Puddin beranggapan warga miskin adalah mereka yang memerima raskin sesuai dengan rumah tangga sasaran. Program ini katanya amat diharap warganya. Karena kebanyakan melakoni aktifitas petani padi sawah. “Warga kami kebanyakan menyewa lahan dan hasilnya pun hanya musiman. Ketika musim panen belum tiba, kemana mereka mengadu? Maka raskin itu cukup membantu,” imbuhnya.
Jumlah warga binaan Puddin Simanjuntak di Dolok Marlawan, katanya mencapai 2.027 jiwa, yang terdiri dari 572 kepala keluarga. Namun, diantara angka itu penerima raskin, berjumlah 229 kepala keluarga. “Dari persentasenya, jumlah warga miskin disini berkisar 60 persen dari total keseluruhan,” ujarnya
Standar penilaian kemiskinan secara nasional diperoleh dari Puddin Simanjuntak ada 14 kriteria kemiskinan secara umum. Masing-masing ditinjau dari luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
Kemudian tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Sumber penerangan rumah tangga juga tidak menggunakan listrik. Sumber air minumnya berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Kemudian, bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0, 5 ha, sebagai buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan, atau pendapatan perkapita Rp166.697 per bulan.
Lantas pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangganya ada yang tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Yang terakhir tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500.000, seperti, sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Sementara soal raskin, Kasi pelayanan publik, Badan Urusan Logistik (Bulok) Aris Fadilah menyatakan penyaluran beras bulog, diberi sesuai jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat ( RTSPM) Beras Miskin (Raskin). “Jatah beras itu dihitung menurut rumah tangga, bukan jiwa,” jelas Aris.
Saat ini katanya ada sebanyak 11.596 RTSPM dari 52 Kelurahan di 8 Kecamatan penerima raskin dengan berat 173.940 kg di Kota Pematangsiantar. Angka itu dibagi dengan rincian 15 kg setiap rumah tangga. Sedangkan di Simalungun, sebanyak 61.326 RTSPM dari 368 Nagori di 31 Kecamatan menerima raskin. Berat beras yang diberi sebesar 919.890 kg.
Aris Fadilah menjelaskan, Bulog harus lakukan koordinasi data RTSPM dengan pihak BPS, karena lembaga ini melakukan pencatatan jumlah Rumah Tangga Sasaran yang diserahkan ke Menkokesra. “Mekanisme itu dilakukan agar subsidi dari APBN jelas peruntukannnya. Kemudian terbitlah Surat Keputusan (SK) penetapan Plafon Anggaran Guna Usaha (PAGU) raskin tiap Provinsi,” terang nya.
Aris Fadilah menuturkan penyaluran raskin itu menurut titik distribusi dan diserah terimakan ke Kelurahan / Desa. “Karena titik distribusi nya di Kelurahan/Desa, maka jatah beras diantar Satuan Petugas (Satgas) Bulog langsung pada Kelurahan atau Desa. Mereka lah yang membagi beras ke setiap RTSPM,” tutur pria berkulit putih itu.
Selanjutnya, Aris Fadilah menyebutkan realisasi raskin tahun 2010 di Simalungun sebanyak 1.971.320 kg. Di Kota Siantar sebesar 10.305.590 kg. Untuk tahun 2011 terhitung sampai 31 Oktober 2011, di Simalungun sebesar 9.349.320 kg, dan di Siantar sebesar 1.720.185 kg.
“Kita juga harus menyiapkan persediaan di gudang penyimpanan. Stok Bulog harus ada minimal 3000 ton sebagai persediaan. Untuk saat ini penyaluran yang kita lakukan tidak pernah terhambat,” sebutnya.
Meski dijuluki Beras Miskin, harga jual pada masyarakat dikenakan Rp1.600/ kg. “Harga jual itu sesuai penetapan yang kita terima dari Pemda. Kalaupun harga naik, kita akan mencari tahu apa penyebab kenaikan,” jelasnya.
Soal program yang dilaksanakan Dinas Koperasi dan UKM kata Kepala Dinasnya melalui Kepala Bidang UKM Kabupaten Simalungun, Janner Gurning menanggapi penanggulangan kemiskinan di Simalungun ada tiga tahapan yang dilakukan. Masing-masing berbentuk koordinasi peningkatan kewirausahaan UMKM dengan materi penyusunan proposal dan penataan administrasi seperti mengadakan sosialisasi kewisrausahaan. Monitoring evaluasi dan pelaporan tentang kegiatan-kegiatan yang ada di Simalungun dan pendataan UMKM. Penyelenggaraan promosi pameran pruduk unggulan UMKM seperti hiasan bunga, padi dan anyaman bambu hasil dari Simalungun.
“Selain itu, kita sebagai fasilitator petani atau pengusaha membuka pasar dan mengarahkan mereka pada pemodal sehingga usaha yang diminati betul-betul terkontrol. Hal inilah yang bisa kita lakukan dalam mengantisipasi kemiskinan di Simalungun,” jelas Janner.
Berkaitan dengan masalah yang dihadapi dilapangan, minat wirausaha masyarakat belum begitu banyak secara SDM dan hanya beberapa kalangan.
“Jadi intinya kita mempersiapkan masyarakat secara SDM atau dengan kata lain upaya pemberdayaanlah yang bisa kita upayakan. Kalau soal permodalan kita hanya bisa mengarahkan saja,” sebut Janner Gurning.
Menurut Kepala kesehatan Kabupaten Simalungun saat ini yang memiliki kartu Jamkesmas sebanyak 255.808 jiwa. Masih ada warga miskin belum mempunyai jamkesmas. “Untuk kedepan, pada APBD 2011 kita telah anggarkan 1 Miliar dana Jamkesda,” tutur dr Saberina Tarigan.
Pelayanan jamkesmas itu berprinsip gratis. “Terkait dana operasionalnya langsung berurusan ke kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), kami tidak tahu menahu soal itu. Sejauh ini pelayanan Jamkesmas tak ada kendala,” terang dr Saberina Tarigan, MARS
Data warga miskin itu sudah diketahui memang tak sedikit, namun menurut Johalim Purba Ketua Komisi IV DPRD Siamalungun, bila ditinjau dari pendapatan perkapita masyarakat di Simalungun khususnya daerah tertentu, tidaklah miskin. “Potensi pengembangan usaha masih terbuka lebar,” jelas Johalim, Senin (31/10) di ruang kerjanya.
Menanggapi kemiskinan di Simalungun, katanya dapat dibedakan dalam dua bagian besar seperti, daerah Simalungun bawah. Secara ekstensifikasi tidak mungkin lagi, karena lahan pertanian disana kini makin sempit. Namun secara intensifikasi masih memungkinkan khususnya bagi petani gabah. “Yang jadi permasalahan adalah sarana produksi (pupuk dan racun) dan infastruktur, perlu ditingkatkan. Harga jual hasil produksi pertanian juga harus dilindungi Pemkab Simalungun, agar para tengkulak tidak sesuka hati bikin harga demi meraup keuntungan besar,” tegasJohalim.
Demikian daerah Simalungun atas. Disebut secara ekstensifikasi dan intensifikasi masih bisa diperbaiki. Yang jadi permasalahan adalah sarana atau jalan menuju lahan pertanian amat tidak memadai. Pemerintah harusnya bikin terobosan jitu agar nilai jual sesuai kualitas hasil pertanian di Simalungun, sama bahkan lebih mahal dari daerah lain, seperti produk pertanian dari tanah Karo. Tak lepas pula pupuk yang dijual, harus sesuai harga eceran tertinggi (HET).
Namun kata Johalim Purba, yang jadi masalah besar bagi semua kalangan adalah kemauan. Tak jarang warga lebih malas bekerja menghidupi kehidupannya. Sehingga bergantung harapan pada subsidi yang disalurkan pemerintah. Salah satunya jatah beras miskin (raskin) yang ditangani Bulog, kerap pula jadi pergunjingan sesama masyarakat. Harusnya jatah raskin itu diberi pada warga miskin alias ekonomi lemah. Namun, tak heran pula kalau jatah miskin itu kesasar dinikmati kaum ekonomi mapan.
“Justru yang membuat masyarakat malas karena rakyat yang tidak layak menerima bantuan miskin ikut-ikutan jadi miskin,” sebut Johalim Purba yang diusung Partai Demokrasi Pembaruan ini.
Masih katanya, baiknya warga penerima jatah raskin apabila didata ulang, harus selektif. Para Kepala Nagori jangan membiarkan Gamot/RT memilih penerima raskin dengan semaunya. “Kita sebagai wakil rakyat berusaha serius mendampingi penyaluran raskin tapi karena luasnya Simalungun, kita berharap LSM, Wartawan dan masyarakat terlibat menyorotinya,” harap Johalim.
Berkaitan dengan lahan pertanian, katanya saat ini pemerintah melancarkan program membuat prona men-sertifikasi tanah masyarakat, demi mendukung usaha kecil. Apalagi sekarang ada program pemerintah dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk petani. “Kebijakan itu peluang berkembang bagi rakyat petani. Progra tersebut efektif mencegah kemiskinan di Simalungun,” terangnya.
Dia berkata yang miskin di Simalungun masih sedikit. “Yang perlu adalah peningkatan kesejahteraan pendukung hasil produksi petani dan usaha lainnya. Kalau dibandingkan dengan tahun-tahun lalu nampaknya masih sama. Dalam masa pemerintahan JR-NUR, pun masih proses. Saya tidak bisa menilai proses, coba bayangkan ketika kita mengatakan orang yang sedang berlari kita katakan gagal padahal dia masih sedang berlari. Itu artinya vonis salah kaprah. Kita lihat saja bagaimana finishnya nanti. Utuk itu, kita selalu mendorong kinerja siapapun berpihak pada rakyat,” urainya. (*)
PNPM Tak Bisa Diandalkan
Bagaimana pula mengandalkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang berlaku secara nasional. Ternyata, walau menghabiskan banyak uang rakyat, belum bisa dijadikan sebagai barometer nyata menanggulangi kemiskinan.
Jika mengurai idealisme PNPM Mandiri, harusnya pengentasan kemiskinan itu mengalami kemajuan pesat. Namun, sejak digulir tahun 2007 lalu, angka kemiskinan masih stagnan. Pasalnya, ragam programnya masih berkutat di proyek fisik. Maka tak jarang membangun tempat pembuangan sampah jadi sasaran empuk menggunakan dana PNPM. Sedang soal pemberdayaan ekonomi lemah, justru jauh dari harapan.
Kalau meminta penjelasan bagaimana sebenarnya program PNPM itu, Muliadi Torong, SE sebagai Asisten Sidik PNPM Kota Pematangsiantar mengaku penanganan pengentasan kemiskinan cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat, umumnya belum optimal. Kerelawanan sosial kehidupan masyarakat yang jadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan, juga mulai luntur. Untuk itu, diperlukan perubahan bersifat sistemik dan menyeluruh.
Muliadi berujar, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, dengan meluncurkan PNPM Mandiri, baiknya merumuskan kembali mekanisme penanggulangan kemiskinan, yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Melalui proses pembangunan partisipatif, katanya kesadaran kritis dan kemandirian, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga bukan lagi sebagai obyek melainkan subyek penanggulangan kemiskinan.
Sebenarnya kata Muladi pelaksanaan PNPM Mandiri sejak tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Program pendukungnya PNPM Generasi, meliputi program penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP), sebagai dasar pemberdayaan masyarakat kota. Kemudian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), pasca bencana, dan konflik.
Dia berujar, tahun 2008, PNPM Mandiri diperluas lagi dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitar.
PNPM Mandiri itu diperkuat ragam program pemberdayaan yang dilaksanakan berbagai departemen dan pemerintah daerah. “Pelaksanaan itu diprioritaskan pada desa tertinggal,” ujarnya.
Muladi menjelaskan ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri, terbuka bagi kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusul dan disepakati masyarakat. Konsepnya meliputi penyediaan dan perbaikan pasarana/sarana lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi melalui padat karya.
Penyediaan sumberdaya keuangan juga bisa dilakukan melalui dana bergulir dan kredit mikro mengembangkan ekonomi warga miskin. “Perhatian lebih besar diberi bagi kaum perempuan memanfaatkan dana bergulir ini,” tukasnya.
Upaya peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal juga bisa melakukan penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik.
Khususnya di Kota Pematangsiantar, PNPM ini melakukan kinerja tersalurkan di 35 Kelurahan. Tahun 2009 sebanyak 43 Kelurahan. Hanya saja soal berapa dana yang tersalurkan, Muliadi mengaku tidak tahu karena baru bertugas di PNPM Kota Siantar. (*)
Lembaga Sosial Lebih Proaktif
Mengamati upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan itu amat jauh beda dengan komitmen dilakukan pihak swasta. Tak bisa dipungkiri, Lembaga Gereja selama ini turut berpartisipasi secara nyata dalam konteks pengentasan kemiskinan. Salah satunya program pengembangangan masyarakat (Pengmas) Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
Gereja yang satu ini mempunyai visi, jadi gereja yang membawa berkat dan kepedulian. Gereja dalam artian orangnya, bukan hanya lembaga dan bukan hanya pendetanya yang berbuat. Penanggulangan kemiskinana salah satu penanganan yang lebih oriented pada program-program di GKPS. Baik secara materi maupun spiritualitas. Demikian diungkapkan Pdt Jenni Purba, STh, kepala bidang Pengmas GKPS di kantor pusat,Rabu, (02/11).
Pdt Jenni Purba menjelaskan beberapa upaya dilakukan GKPS sebagai langkah preventif, yaitu membuka Panti Asuhan BKM (Balai Keselamatan Margarita), Panti karya menampung anak/remaja yang tidak mampu kuliah atau sekolah, yang menganggur dan kurang edukasi.
Di Panti ini mereka diajari keterampilan seperti salon, menjahit, tukang, otomotif mesin dan lain-lain. Selain itu katanya, menggerakkan pelayanan pembangunan (PELPEM) yang cenderung ke bidang pertanian. “Karena angka kemiskinan terletak di pihak petani. Maka pendampingan berorientasi petani. Mereka kita arahkan ke pertanian organik, guna menekan biaya yang pendapatannya dibawah rata-rata,” tukas Jenni.
Program lain dijajaki GKPS, kata Jenni membuka layanan Credit Union (CU). Dengan program itu petani dan jemaat diajari menabung dan sebagai wadah meminjam uang. “Program ini adalah pengentasan kmiskinan ditengah-tengah gereja dan bangsa. Pendanaannya, juga swadaya dan donateur dari lembaga luar negeri seperti UEM German, REACT Singapore, LCA Australian. Yang jadi kendala adalah sosialisasi ke unit jemaat. Karena kurangnya pelayan yang kita tempatkan sebagai diaken-diaken dari departemen diakonia,” jelasnya.
Hal senada dari Darson Saragih selaku Kepala Bidang Perencanaan Monitoring Pelpem GKPS mempertegas program mereka lebih spesifik dalam pengentasan kemiskinan dengan penyuluhan soisial dan pertanian. Menurutnya, realita dilapangan, petani bukanlah berkapasitas petani, tapi masih sebatas buruh. Untuk itulah pelpem memberdayakan petani selaras alam (pertanian organik).
Sebagai pendukung penanggulangan kemiskinan itu, Kata Darson pembangunan sarana desa, seperti air bersih juga harus diwujud nyatakan. “Di Simalungun, kita sudah mendampingi beberapa desa, dan sudah ada 110 unit air bersih. Kini mereka sudah mampu mengelolanya,” urai Darson.
Membangkitkan program perkoperasian dan pembangunan usaha, sebut Darson juga untuk mendampingi koperasi besar dan CU kelompok swadaya masyarakat (KSM). “Kita telah agendakan pendanaannya secara serius. Seperti usaha kredit mikro 500 juta per tahun. Jadi sebenarnya latarbelakang kemiskinan itu adalah miskin secara struktural dan cultural. Maka kita menerapkan program pengentasan kemiskinan, atas latar belakang tersebut,” ungkapnya. (*)
Kemiskinan adalah keadaan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan itu masalah global, karena menyebar di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara lainnya melihat dari segi moral dan evaluatif.
Pemerintah secara nasional sudah melakukan berbagai upaya penanggulangan kemiskinan. Ragam program subsidi dilakukan. Mulai dari istilah Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesmas), memberi beras miskin (raskin), subsidi bantuan pendidikan keluarga miskin (BKM) dan banyak lagi program sosial lainnya yang semua itu bertumpu demi pengentasan kemiskinan.
Walaupun seabrek program subsidi itu, penduduk miskin di negeri ini masih cukup tinggi. Karena program itu belum mampu menjawab faktor penyebab dan akar masalah kemiskinan itu sendiri. Ada beberapa masalah yang berlangsung di tengah masyarakat sehubungan dengan kemiskinan. Antara lain ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal, khususnya pangan yang sehat dan bergizi, rumah yang standar dan sehat, pakaian dan belanja perobatan.
Kemudian, tidak mampu menggenapi masa yang akan datang seperti pendidikan anak, investasi modal usaha dan lain-lain sehingga sangat dimungkinkan kemiskinan turun-temurun dihadapi. Tak hanya itu, masyarakat miskin juga tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang dapat diandalkan dan tidak memiliki ruang gerak serta waktu belajar demi meningkatkan SDM-nya. Masyarakat miskin itu sepertinya tidak menyadari kemiskinan yang tengah dialami.
Ironisnya, tujuan mulia pengentasan kemiskinan itu tidak disambut dengan kesadaran bahkan integritas para pelaku penyodor program itu. Tanpa rasa aib, ada oknum-oknum tak bertanggungjawab, bahkan blak-blakan menyelewengkan distribusi raskin. Sehingga jadi pesakitan di ranah hukum. Ada pula penerima bantuan Jamkemas, bantuan murid miskin yang dinikmati kaum ekonomi mapan.
Momok miskin itu seolah jadi komoditi yang harus dimanfaatkan segelintir orang untuk meraup keuntungan tersendiri. Sedangkan yang miskin tetap terpuruk di lingkaran kemelaratannya. Seolah orang miskin itu dilarang keras untuk kaya. Banyak kalangan, utamanya pengamat sosial kemasyarakatan, berani debat terbuka menyangkal suguhan statistik angka kemiskinan yang dinyatakan telah menurun. Padahal, jika mengunjungi kondisi nyata kehidupan kaum miskin itu, justru banyak ditemukan. Bukan hanya di pemukiman kumuh, di pinggiran jalan sekalipun amat banyak berlakon sebagai peminta-minta.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan penduduk miskin Maret 2009 berjumlah 32,53 juta (14,15 persen). Berarti jumlah penduduk miskin itu berkurang 1, 51 juta jiwa. Di daerah perkotaan, turunnya lebih besar daripada perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sedangkan di perdesaan berkurang hanya 0, 69 juta orang.
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Terhitung Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Begitu juga Maret 2010, sebesar 64,23 persen. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2009-Maret 2010, nampaknya berkaitan dengan faktor-faktor inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar 3,43 persen.
Data itu merupakan indikator global yang tersusun rapi dalam pembukuan. Apakah akurasi data itu sesuai kenyataan di daerah, seperti di Kota Pematangsiantar dan Simalungun. Tak lepas juga warga miskin daerah lain di Sumatera Utara.
Kenyataan Diskriminasi Orang Miskin
Dominan disayangkan, bahwa di tingkat daerah, ternyata data kemiskinan itu dijiplak langsung dari data BPS setempat. Seperti di Kota Pematangsiantar dan Simalungun. Dari pengakuan beberapa Lurah-nya berapa jumlah warga yang miskin di kawasannya tidak berdasar sensus yang dilakukan. Namun suguhan data dari BPS.
Sehingga akurasi data miskin belum bisa diyakini kebenarannya. Pasalnya, tak sedikit pula warga yang jerit histeris menahan lapar karena tak dapat jatah raskin, termasuk enggan berobat karena tak punya Jamkesmas. Artinya, upaya menanggulangi kemiskinan itu, sikap Pemerintahan Daerah masih manggut pada program nasional. Tak ada upaya signifikan pemberdayaan ekonomi lemah dan lapangan kerja nyata bagi kaum lemah.
Kritisan dari aktivis perjuangan rakyat jelata Milton Napitupulu, menekankan upaya mengatasi kemiskinan ini masih berkutat secara general. Bukan pula secara faktual berdasar daerah dan sektornya. “Pengentasan kemiskinan itu belum menemukan strategi yang tepat di daerah,” tukasnya.
Milton mencermati, yang kerap terjadi bahwa banyak pihak hanya debat kusir membicarakan orang miskin. Bukan langsung tatap muka bicara dengan orang miskin. Sehingga orang miskin, tetap jadi obyek kemiskinan.
"Dengan dijadikan orang miskin menjadi objek, secara tidak langsung, menjadikan orang miskin itu, tetap terpuruk dalam kemiskinan. Kenapa tidak, sebab orang miskin tidak memiliki muatan spritual dan aktualisasi diri untuk keluar dari kemiskinan. Pengentasannya mengambang. Pemerintah sama sekali tidak mengetahui apa dan bagaimana penyebab serta solusi yang tepat," kritik Milton.
Ketika ditanya, apakah dirinya ketahui data statistik masyarakat miskin di wilayah Pematangsiantar-Simalungun, Milton sama sekali tidak tau, karena selama ini dia turun langsung ke orang miskin, bukan berdasar statistik.
Begitu pula soal situasi masyarakat miskin, yang pengentasannya tidak objektif berdasar letak wilayah dan lokasi , dalam pengamatan Milton justru jadi peluang bisnis menguntungkan oknum tertentu. “Komoditi miskin Ini tak sulit dimanfaatkan oknum tertentu, seperti usaha finansial, koperasi bersifat rentenir, semua itu seolah mengatas namakan membantu keterpurukan ekonomi lemah,” tukasnya.
Kenyataan kritisan disampaikan Milton itu terbukti dari pengakuan warga miskin yang dimarjinalkan Pemko Pematangsiantar Nuraini Siahaan, warga kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba. Nuraini mengaku selama 13 tahun tinggal di daerah pemukiman dekat penampungan sampah, sama sekali tak pernah dapat bantuan apapun dari pemerintah. Baik raskin, Jamkesmas, Elpiji bersubsidi dan sebagainya. Ibu usia lanjut itu mengeluh sama sekali tidak menerima dan tidak pernah mendapat penawaran bantuan apapun dari Kelurahan atau jajaran dinas lainnya.
Upaya mendapat bantuan itu sudah sering dilakukan Nuraini Siahaan. Dia mempertanyakan langsung ke pihak kelurahan. Tapi Nuraini tidak dapat sambutan baik dari pegawai kelurahan. Alasan dari pegawai kelurahan malah menyakitkan hatinya. Menurut penuturan nenek yang hidup sebatang kara ini bahwa dirinya kata pegawai kelurahan itu sepantasnya jadi tanggungan para anaknya. “Sampai nangislah aku pulang kerumah gara –gara dibilang kayak gitu. Sama siapa aku mengadu, aku pun sudah hidup sendirian disini,” sedih Nuraini.
Hal miris juga terungkap dari warga, boru Purba mengatakan dirinya dan 20 Kepala Keluarga (KK) lainnya, sama sekali tak dapat bantuan apapun dari pemerintah. Anaknya yang masih mengecap pendidikan di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, katanya juga tak pernah dapat bantuan siswa miskin.
Sedangkan warga tanjung pinggir itu tau, bahwa warga di luar daerah tempat tinggalnya dapat bantuan. “Pemerintah pilih bulu menyalurkan bantuannya. Kami yang miskin ini tak pernah diperhatikan. Kami tak pernah dapat bantuan apapun. Mungkin pemerintah tidak menganggap kami sebagai manusia. Jadi omong kosong semua pendataan yang dilakukan pemerintah. Bolak-balik petugas datang mendata kami, tapi apa tujuannya, kami tidak tau. Asal kami tanya, jawab mereka untuk program mendapat bantuan,” keluh boru Purba dengan nada kesal.
Menanggapi kemiskinan itu, keterangan dari Lurah Pondok Sayur, Siantar Martoba Pematangsiantar Sardi Sinaga SH, menyatakan tahun 2011 ini warga miskin di wilayahnya berjumlah 357 kepala keluarga (KK). Angka itu diketahui masih sesuai laporan BPS.
Sejauh ini katanya bantuan yang disalurkan masih berupa beras miskin sebanyak 15 kg per KK. Selain itu, program penanggulangan lainnya dengan cara terjun langsung membaur ke kelompok tani, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan peningkatan usaha kecil dan menengah.
Dia mengaku sudah 3 tahun jadi Lurah mengamati kemiskinan itu akibat minim peluang kerja dan pendidikan. Masyarakat miskin di daerahnya belum membudayakan hemat pengeluaran uang. “Kebanyakan mereka kerja hanya bertukang, namun biaya pribadinya boros, seperti minum tuak dan merokok,” ungkapnya.
Walau begitu, dia tetap memberi informasi bila ada lowongan kerja pada warga miskin di daerahnya. Lurah ini tak mau lelah ajarkan warganya bergiat ikuti program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
Ironisnya, wakil rakyat dari Kota Pematangsiantar, Asbol Sidabalok, Anggota Komisi III, mengatakan legislatif tetap melakukan fungsi pengawasan pada Pemko Pematangsiantar dalam menyalurkan bantuan warga miskin. Namun soal data statistik warga miskin di Pematangsiantar, dewan yang diusung Partai Damai Sejahtera (PDS) itu, mengaku tak memilikinya. Sehingga fungsi pengawasan cukup minim. “Data itu hanya ada di Pemerintahan Kota Pemtangsiantar, melalui BPS dan di masing-masing Kelurahan,” tukasnya.
Asbol menjelaskan pelaporan penyaluran bantuan warga miskin itu disampaikan pada DPRD, sifatnya per triwulan. Sehingga, Asbol bisa tau berdasar laporan itu.
Ketika ditanya apakah DPRD pernah melakukan pengawasan langsung warga miskin penerima bantuan, Asbol Sidabalok juga mengaku tidak pernah. “Kita tau kebenarannya, jika ada laporan warga ke DPRD. Tapi sejauh ini belum laporan dari masyarakat,” sebutnya.
Anggota Dewan berkulit sawo itu, juga mengaku tidak mengetahui apa saja jenis bantuan pemerintah pada warga miskin. “Aku tidak tahu semua, apa saja jenis bantuan warga miskin itu,” ketus Asbol saat dikonfirmasi lewat telepon selulernya, Kamis (3/11) sekitar pukul 18.45 Wib.
Terlepas upaya penanggulangan kemiskinan dari segi pemberdayaan, Konstruktif juga mengutip Informasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pematangsiantar bagaimana kebijakannya memaksimalkan layanan kesehatan masyarkat miskin. Sesuai data yang ada di Dinas ini angka kemiskinan sudah mencapai 53.950 jiwa. Seperti lainnya, data itu juga diperoleh dari BPS tahun 2008 dan jadi Kuota yang ditentukan KEMENKES RI. Sedangkan statistik 2010 hingga 2011 belum jelas.
Kepala bidang pelayanan jaminan kesehatan dan sarana masyarakat Dinkes Pematangsiantar, Januarito Pardede, SKM, masih berpijak pada kebijakan umum tujuan program kesehatan masyarakat miskin, dari segi layanan kesehatan ekonomi lemah.
Disebut, penyelenggaraan layanan kesehatan masyarakat miskin mempunyai arti penting dengan alasan pokok, menjamin terpenuhnya keadilan sosial. Sehingga pelayanan kesehatan, amat mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 dan 5 kali lebih tinggi, dibanding keluarga yang tidak miskin. “Di sisi lain penyelenggaraan itu mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010,” katanya.
Pengentasan kemiskinan itu dalam hal kepentingan politis nasional, katanya tak lain menjaga utuhnya integrasi bangsa meningkatkan pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin. Kepentingan politis internasional juga menggalang kebersamaan memenuhi komitmen global, menurunkan angka kemiskinan melalui upaya kesehatan keluarga miskin.
Hasil studi yang dilakukan petinggi Negara selama ini, katanya upaya kesehatan penduduk yang baik, merupakan cara merangsang pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Maka langkah mengatasi kemiskinan itu pun akan berhasil.
Kebijakan yang tengah diterapkan Dinkes Siantar upaya pelayanan kesehatan, katanya memerlukan penyelesaian menyeluruh dan menyusun strategi perduli kesehatan warga miskin. Pelayanan kepedulian itu, katanya meliputi upaya membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin, seperti TBC, malaria, kurang gizi, dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.
Lebih jauh dikatakan, pihaknya juga meningkatkan penyediaan serta efektifitas pelbagai pelayanan kesehatan bersifat non personal, seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan, termasuk penyediaan obat, keamanan dan fortifikasi makanan.
Tak hanya itu, kata Januarito Pardede, Dinkes Siantar senantiasa meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan warga ekonomi lemah. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat miskin. “Masalah kesehatan bukan masalah pemerintah saja, melainkan masalah masyarakat itu sendiri. Karena itulah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan,” harap Januarito.
Dia juga memastikan, masyarakat miskin dikota Siantar saat ini bisa mendapat pelayanan kesehatan gratis, baik memeriksakan kesehatan, berobat jalan, opname dan pendistribusian obat-obatan, yang diperoleh di Puskesmas, RSU Djasamen Saragih, bahkan RSU Haji Adam Malik atau RSU Pirngadi Kota Medan, dan sampai ke Rumah Sakit di Jakarta.
“Program ini sudah berlangsung sejak tahun 2004, diprakarsai Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan. Banyak masyarakat miskin terbantu program kesehatan gratis ini. Spesifik mendapatkan obat-obatan, Jamkesmas memberi layanan obat Generik. Kepatenan obat Generik ini tidak jauh berbeda dengan obat lain yang harganya mahal,” ucap Januarito memastikan.
Menyangkut sumber anggaran dana pelayanan kesehatan masyarakat miskin itu katanya dominan dari Pemerintah Pusat. Untuk tahun 2011, Pemerintah Pusat mengucurkan dana Jamkesmas sebesar Rp712.140.000. Pengelolaan dana itu digunakan untuk pengadaan sarana pelayanan kesehatan berupa alat penunjang pemeriksaan kesehatan, obat-obatan, opname dan sebagainya. Jika dana itu lebih atau sisa, maka Dinkes melalui Bidang Jamkesmas wajib mengembalikannya ke APBN.
Mengenai sosialisasi Jamkesmas ini, Januarito berujar baru-baru ini Dinkes Siantar kembali lakukan sosialisasi, melibatkan para Lurah memberi kartu Jamkesmas ke warganya. “Setelah itu tertata rapi, barulah kita layani dengan baik,” tukasnya. (*)
Pemberdayaan Kemiskinan Masih ‘Miskin’
Kalau dari Nagori Dolok Marlawan Kecamatan Jorlang Hataran, Kabupaten Simalungun Puddin Simajuntak selaku Kepala Desa Nagori, memaparkan bila bicara kemiskinan didaerahnya, secara kriteria tidak bisa dikatakan miskin. Bisa dilihat dengan apa yang dimiliki, yakni warganya tidak lagi berlagak miskin. “Tapi kalau kita perhatikan kemampuan SDM mereka, kebanyakan tidak mampu,” sebutnya.
Puddin beranggapan warga miskin adalah mereka yang memerima raskin sesuai dengan rumah tangga sasaran. Program ini katanya amat diharap warganya. Karena kebanyakan melakoni aktifitas petani padi sawah. “Warga kami kebanyakan menyewa lahan dan hasilnya pun hanya musiman. Ketika musim panen belum tiba, kemana mereka mengadu? Maka raskin itu cukup membantu,” imbuhnya.
Jumlah warga binaan Puddin Simanjuntak di Dolok Marlawan, katanya mencapai 2.027 jiwa, yang terdiri dari 572 kepala keluarga. Namun, diantara angka itu penerima raskin, berjumlah 229 kepala keluarga. “Dari persentasenya, jumlah warga miskin disini berkisar 60 persen dari total keseluruhan,” ujarnya
Standar penilaian kemiskinan secara nasional diperoleh dari Puddin Simanjuntak ada 14 kriteria kemiskinan secara umum. Masing-masing ditinjau dari luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
Kemudian tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. Sumber penerangan rumah tangga juga tidak menggunakan listrik. Sumber air minumnya berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Kemudian, bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0, 5 ha, sebagai buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan, atau pendapatan perkapita Rp166.697 per bulan.
Lantas pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangganya ada yang tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. Yang terakhir tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500.000, seperti, sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Sementara soal raskin, Kasi pelayanan publik, Badan Urusan Logistik (Bulok) Aris Fadilah menyatakan penyaluran beras bulog, diberi sesuai jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat ( RTSPM) Beras Miskin (Raskin). “Jatah beras itu dihitung menurut rumah tangga, bukan jiwa,” jelas Aris.
Saat ini katanya ada sebanyak 11.596 RTSPM dari 52 Kelurahan di 8 Kecamatan penerima raskin dengan berat 173.940 kg di Kota Pematangsiantar. Angka itu dibagi dengan rincian 15 kg setiap rumah tangga. Sedangkan di Simalungun, sebanyak 61.326 RTSPM dari 368 Nagori di 31 Kecamatan menerima raskin. Berat beras yang diberi sebesar 919.890 kg.
Aris Fadilah menjelaskan, Bulog harus lakukan koordinasi data RTSPM dengan pihak BPS, karena lembaga ini melakukan pencatatan jumlah Rumah Tangga Sasaran yang diserahkan ke Menkokesra. “Mekanisme itu dilakukan agar subsidi dari APBN jelas peruntukannnya. Kemudian terbitlah Surat Keputusan (SK) penetapan Plafon Anggaran Guna Usaha (PAGU) raskin tiap Provinsi,” terang nya.
Aris Fadilah menuturkan penyaluran raskin itu menurut titik distribusi dan diserah terimakan ke Kelurahan / Desa. “Karena titik distribusi nya di Kelurahan/Desa, maka jatah beras diantar Satuan Petugas (Satgas) Bulog langsung pada Kelurahan atau Desa. Mereka lah yang membagi beras ke setiap RTSPM,” tutur pria berkulit putih itu.
Selanjutnya, Aris Fadilah menyebutkan realisasi raskin tahun 2010 di Simalungun sebanyak 1.971.320 kg. Di Kota Siantar sebesar 10.305.590 kg. Untuk tahun 2011 terhitung sampai 31 Oktober 2011, di Simalungun sebesar 9.349.320 kg, dan di Siantar sebesar 1.720.185 kg.
“Kita juga harus menyiapkan persediaan di gudang penyimpanan. Stok Bulog harus ada minimal 3000 ton sebagai persediaan. Untuk saat ini penyaluran yang kita lakukan tidak pernah terhambat,” sebutnya.
Meski dijuluki Beras Miskin, harga jual pada masyarakat dikenakan Rp1.600/ kg. “Harga jual itu sesuai penetapan yang kita terima dari Pemda. Kalaupun harga naik, kita akan mencari tahu apa penyebab kenaikan,” jelasnya.
Soal program yang dilaksanakan Dinas Koperasi dan UKM kata Kepala Dinasnya melalui Kepala Bidang UKM Kabupaten Simalungun, Janner Gurning menanggapi penanggulangan kemiskinan di Simalungun ada tiga tahapan yang dilakukan. Masing-masing berbentuk koordinasi peningkatan kewirausahaan UMKM dengan materi penyusunan proposal dan penataan administrasi seperti mengadakan sosialisasi kewisrausahaan. Monitoring evaluasi dan pelaporan tentang kegiatan-kegiatan yang ada di Simalungun dan pendataan UMKM. Penyelenggaraan promosi pameran pruduk unggulan UMKM seperti hiasan bunga, padi dan anyaman bambu hasil dari Simalungun.
“Selain itu, kita sebagai fasilitator petani atau pengusaha membuka pasar dan mengarahkan mereka pada pemodal sehingga usaha yang diminati betul-betul terkontrol. Hal inilah yang bisa kita lakukan dalam mengantisipasi kemiskinan di Simalungun,” jelas Janner.
Berkaitan dengan masalah yang dihadapi dilapangan, minat wirausaha masyarakat belum begitu banyak secara SDM dan hanya beberapa kalangan.
“Jadi intinya kita mempersiapkan masyarakat secara SDM atau dengan kata lain upaya pemberdayaanlah yang bisa kita upayakan. Kalau soal permodalan kita hanya bisa mengarahkan saja,” sebut Janner Gurning.
Menurut Kepala kesehatan Kabupaten Simalungun saat ini yang memiliki kartu Jamkesmas sebanyak 255.808 jiwa. Masih ada warga miskin belum mempunyai jamkesmas. “Untuk kedepan, pada APBD 2011 kita telah anggarkan 1 Miliar dana Jamkesda,” tutur dr Saberina Tarigan.
Pelayanan jamkesmas itu berprinsip gratis. “Terkait dana operasionalnya langsung berurusan ke kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), kami tidak tahu menahu soal itu. Sejauh ini pelayanan Jamkesmas tak ada kendala,” terang dr Saberina Tarigan, MARS
Data warga miskin itu sudah diketahui memang tak sedikit, namun menurut Johalim Purba Ketua Komisi IV DPRD Siamalungun, bila ditinjau dari pendapatan perkapita masyarakat di Simalungun khususnya daerah tertentu, tidaklah miskin. “Potensi pengembangan usaha masih terbuka lebar,” jelas Johalim, Senin (31/10) di ruang kerjanya.
Menanggapi kemiskinan di Simalungun, katanya dapat dibedakan dalam dua bagian besar seperti, daerah Simalungun bawah. Secara ekstensifikasi tidak mungkin lagi, karena lahan pertanian disana kini makin sempit. Namun secara intensifikasi masih memungkinkan khususnya bagi petani gabah. “Yang jadi permasalahan adalah sarana produksi (pupuk dan racun) dan infastruktur, perlu ditingkatkan. Harga jual hasil produksi pertanian juga harus dilindungi Pemkab Simalungun, agar para tengkulak tidak sesuka hati bikin harga demi meraup keuntungan besar,” tegasJohalim.
Demikian daerah Simalungun atas. Disebut secara ekstensifikasi dan intensifikasi masih bisa diperbaiki. Yang jadi permasalahan adalah sarana atau jalan menuju lahan pertanian amat tidak memadai. Pemerintah harusnya bikin terobosan jitu agar nilai jual sesuai kualitas hasil pertanian di Simalungun, sama bahkan lebih mahal dari daerah lain, seperti produk pertanian dari tanah Karo. Tak lepas pula pupuk yang dijual, harus sesuai harga eceran tertinggi (HET).
Namun kata Johalim Purba, yang jadi masalah besar bagi semua kalangan adalah kemauan. Tak jarang warga lebih malas bekerja menghidupi kehidupannya. Sehingga bergantung harapan pada subsidi yang disalurkan pemerintah. Salah satunya jatah beras miskin (raskin) yang ditangani Bulog, kerap pula jadi pergunjingan sesama masyarakat. Harusnya jatah raskin itu diberi pada warga miskin alias ekonomi lemah. Namun, tak heran pula kalau jatah miskin itu kesasar dinikmati kaum ekonomi mapan.
“Justru yang membuat masyarakat malas karena rakyat yang tidak layak menerima bantuan miskin ikut-ikutan jadi miskin,” sebut Johalim Purba yang diusung Partai Demokrasi Pembaruan ini.
Masih katanya, baiknya warga penerima jatah raskin apabila didata ulang, harus selektif. Para Kepala Nagori jangan membiarkan Gamot/RT memilih penerima raskin dengan semaunya. “Kita sebagai wakil rakyat berusaha serius mendampingi penyaluran raskin tapi karena luasnya Simalungun, kita berharap LSM, Wartawan dan masyarakat terlibat menyorotinya,” harap Johalim.
Berkaitan dengan lahan pertanian, katanya saat ini pemerintah melancarkan program membuat prona men-sertifikasi tanah masyarakat, demi mendukung usaha kecil. Apalagi sekarang ada program pemerintah dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk petani. “Kebijakan itu peluang berkembang bagi rakyat petani. Progra tersebut efektif mencegah kemiskinan di Simalungun,” terangnya.
Dia berkata yang miskin di Simalungun masih sedikit. “Yang perlu adalah peningkatan kesejahteraan pendukung hasil produksi petani dan usaha lainnya. Kalau dibandingkan dengan tahun-tahun lalu nampaknya masih sama. Dalam masa pemerintahan JR-NUR, pun masih proses. Saya tidak bisa menilai proses, coba bayangkan ketika kita mengatakan orang yang sedang berlari kita katakan gagal padahal dia masih sedang berlari. Itu artinya vonis salah kaprah. Kita lihat saja bagaimana finishnya nanti. Utuk itu, kita selalu mendorong kinerja siapapun berpihak pada rakyat,” urainya. (*)
PNPM Tak Bisa Diandalkan
Bagaimana pula mengandalkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang berlaku secara nasional. Ternyata, walau menghabiskan banyak uang rakyat, belum bisa dijadikan sebagai barometer nyata menanggulangi kemiskinan.
Jika mengurai idealisme PNPM Mandiri, harusnya pengentasan kemiskinan itu mengalami kemajuan pesat. Namun, sejak digulir tahun 2007 lalu, angka kemiskinan masih stagnan. Pasalnya, ragam programnya masih berkutat di proyek fisik. Maka tak jarang membangun tempat pembuangan sampah jadi sasaran empuk menggunakan dana PNPM. Sedang soal pemberdayaan ekonomi lemah, justru jauh dari harapan.
Kalau meminta penjelasan bagaimana sebenarnya program PNPM itu, Muliadi Torong, SE sebagai Asisten Sidik PNPM Kota Pematangsiantar mengaku penanganan pengentasan kemiskinan cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat, umumnya belum optimal. Kerelawanan sosial kehidupan masyarakat yang jadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan, juga mulai luntur. Untuk itu, diperlukan perubahan bersifat sistemik dan menyeluruh.
Muliadi berujar, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, dengan meluncurkan PNPM Mandiri, baiknya merumuskan kembali mekanisme penanggulangan kemiskinan, yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Melalui proses pembangunan partisipatif, katanya kesadaran kritis dan kemandirian, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga bukan lagi sebagai obyek melainkan subyek penanggulangan kemiskinan.
Sebenarnya kata Muladi pelaksanaan PNPM Mandiri sejak tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Program pendukungnya PNPM Generasi, meliputi program penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP), sebagai dasar pemberdayaan masyarakat kota. Kemudian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), pasca bencana, dan konflik.
Dia berujar, tahun 2008, PNPM Mandiri diperluas lagi dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitar.
PNPM Mandiri itu diperkuat ragam program pemberdayaan yang dilaksanakan berbagai departemen dan pemerintah daerah. “Pelaksanaan itu diprioritaskan pada desa tertinggal,” ujarnya.
Muladi menjelaskan ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri, terbuka bagi kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusul dan disepakati masyarakat. Konsepnya meliputi penyediaan dan perbaikan pasarana/sarana lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi melalui padat karya.
Penyediaan sumberdaya keuangan juga bisa dilakukan melalui dana bergulir dan kredit mikro mengembangkan ekonomi warga miskin. “Perhatian lebih besar diberi bagi kaum perempuan memanfaatkan dana bergulir ini,” tukasnya.
Upaya peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal juga bisa melakukan penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik.
Khususnya di Kota Pematangsiantar, PNPM ini melakukan kinerja tersalurkan di 35 Kelurahan. Tahun 2009 sebanyak 43 Kelurahan. Hanya saja soal berapa dana yang tersalurkan, Muliadi mengaku tidak tahu karena baru bertugas di PNPM Kota Siantar. (*)
Lembaga Sosial Lebih Proaktif
Mengamati upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan itu amat jauh beda dengan komitmen dilakukan pihak swasta. Tak bisa dipungkiri, Lembaga Gereja selama ini turut berpartisipasi secara nyata dalam konteks pengentasan kemiskinan. Salah satunya program pengembangangan masyarakat (Pengmas) Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
Gereja yang satu ini mempunyai visi, jadi gereja yang membawa berkat dan kepedulian. Gereja dalam artian orangnya, bukan hanya lembaga dan bukan hanya pendetanya yang berbuat. Penanggulangan kemiskinana salah satu penanganan yang lebih oriented pada program-program di GKPS. Baik secara materi maupun spiritualitas. Demikian diungkapkan Pdt Jenni Purba, STh, kepala bidang Pengmas GKPS di kantor pusat,Rabu, (02/11).
Pdt Jenni Purba menjelaskan beberapa upaya dilakukan GKPS sebagai langkah preventif, yaitu membuka Panti Asuhan BKM (Balai Keselamatan Margarita), Panti karya menampung anak/remaja yang tidak mampu kuliah atau sekolah, yang menganggur dan kurang edukasi.
Di Panti ini mereka diajari keterampilan seperti salon, menjahit, tukang, otomotif mesin dan lain-lain. Selain itu katanya, menggerakkan pelayanan pembangunan (PELPEM) yang cenderung ke bidang pertanian. “Karena angka kemiskinan terletak di pihak petani. Maka pendampingan berorientasi petani. Mereka kita arahkan ke pertanian organik, guna menekan biaya yang pendapatannya dibawah rata-rata,” tukas Jenni.
Program lain dijajaki GKPS, kata Jenni membuka layanan Credit Union (CU). Dengan program itu petani dan jemaat diajari menabung dan sebagai wadah meminjam uang. “Program ini adalah pengentasan kmiskinan ditengah-tengah gereja dan bangsa. Pendanaannya, juga swadaya dan donateur dari lembaga luar negeri seperti UEM German, REACT Singapore, LCA Australian. Yang jadi kendala adalah sosialisasi ke unit jemaat. Karena kurangnya pelayan yang kita tempatkan sebagai diaken-diaken dari departemen diakonia,” jelasnya.
Hal senada dari Darson Saragih selaku Kepala Bidang Perencanaan Monitoring Pelpem GKPS mempertegas program mereka lebih spesifik dalam pengentasan kemiskinan dengan penyuluhan soisial dan pertanian. Menurutnya, realita dilapangan, petani bukanlah berkapasitas petani, tapi masih sebatas buruh. Untuk itulah pelpem memberdayakan petani selaras alam (pertanian organik).
Sebagai pendukung penanggulangan kemiskinan itu, Kata Darson pembangunan sarana desa, seperti air bersih juga harus diwujud nyatakan. “Di Simalungun, kita sudah mendampingi beberapa desa, dan sudah ada 110 unit air bersih. Kini mereka sudah mampu mengelolanya,” urai Darson.
Membangkitkan program perkoperasian dan pembangunan usaha, sebut Darson juga untuk mendampingi koperasi besar dan CU kelompok swadaya masyarakat (KSM). “Kita telah agendakan pendanaannya secara serius. Seperti usaha kredit mikro 500 juta per tahun. Jadi sebenarnya latarbelakang kemiskinan itu adalah miskin secara struktural dan cultural. Maka kita menerapkan program pengentasan kemiskinan, atas latar belakang tersebut,” ungkapnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar