Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, selalu berbenah. Tak hanya meningkatkan profesionalisme karyawan dan menyediakan alat kesehatan yang memadai, urusan gedung pun terus dibenahi.
Jika dulu kondisi bangunan kebanyakan rusak, sampai ada sebutan rumah sakit hantu alias Ghost Hospital. Seiring berjalannya waktu, mulai disolek agar terlihat rapi, nyaman dan asri.
Ibarat perawan desa, dirias pasti kelihatan cantik. Sedap dipandang mata. Begitulah jika aksi berbenah di RSUD dr Djasamen Saragih berjalan baik. Maka pasien pun merasa tenang dan penyakit bisa lekas sembuh.
Sayangnya, di balik itu semua, praktek-praktek kotor masih saja terus berlangsung. Masih ingat tahun 2005 lalu, ketika bangsal gedung RSUD direhabilitasi dengan biaya Rp1,9 miliar. Ternyata, proses tendernya mengandung konspirasi demi memuluskan salah satu perusahaan sebagai pemenang tender. Alhasil, buntutnya jadi urusan penegak hukum.
Pasca itu, agenda berbenah terus dilanjutkan. Pada tahun 2010, kembali RSUD membangun gedung baru dengan pagu anggaran Rp30 miliar, sumber dana stimulus APBN tahun 2010. Gedung itu sudah berdiri megah persis di dekat pintu masuk RSUD dr Djasamen Saragih. Namun, tak luput pula dari aneka kejanggalan.
Diduga, proses tender hingga pelaksanaan kegiatannya, diselimuti konspirasi panjang dari berbagai tingkatan. Sehingga sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Buktinya walaupun fisik bangunan mulai dikerjakan Oktober 2010, namun memasuki Oktober ini, belum juga bisa dioperasionalkan.
Kejanggalan Sistematis
Informasi diperoleh Konstruktif, kucuran dana PAGU Rp30 milyar ini dibagi tiga item yakni perencanaan, pengawas/konsultan dan fisik. Proses tendernya dimulai pada Agustus 2010. Panitia tender langsung bermasalah. Bahkan, diduga tidak memenuhi syarat berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003.
Pasalnya, personil panitia tender sempat silih berganti. Sehingga lelang pertama yang dilakukan, terpaksa dibatalkan. Ketua panitia tender sebelumnya dipercayakan kepada Bernardus Sinaga SH, yang saat itu menjabat Wakil Direktur (Wadir) III RSUD dr Djasamen Saragih. Entah apa musababnya, Bernardus nonjob dari jabatannya, sebelum proyek itu rampung dikerjakan. Dia pun digantikan oleh Ropinus Sinaga.
Panitia tender pun dibentuk kembali. Kemudian panitia menerbitkan pengumuman melalui surat Nomor : 13/PNT/VIII/APBN/2010 dengan mengundang semua peserta, mengajukan penawaran secara lengkap. Alasan ini dilakukan karena ada beberapa perusahaan ketika mengikuti tender pertama, tidak memenuhi syarat administrasi.
Tak hanya soal gonta-ganti panitia tender, kejanggalan lainnya pun tertuju pada Ketua Panitia Pelaksana Kegiatan (PPK) Santo Simanjuntak. Banyak pihak menuding kredibilitas Santo Simanjuntak tidak layak terlibat dalam proyek tersebut.
Rekam jejak kinerja Santo Simanjuntak pernah pula dinyatakan bersalah melakukan persekongkolan memenangkan salah satu rekananan ketika dirinya Ketua PPK proyek rehabilitasi bangsal RSUD Dr Djasamen Saragih tahun 2005, berbiaya Rp1,9 miliar.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pemeriksaan intensif dan memutuskan Santo Simanjuntak, secara sah melanggar pasal 35 huruf e dan pasal 22 UU No 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli persaingan usaha tidak sehat.
Putusan itu dituangkan dalam berkas perkara Nomor : 06/KPPU-L/2006. Artinya, walaupun KPPU menyatakan Santo Simanjuntak bersalah, tetapi dirinya tetap diangkat jadi Ketua PPK proyek membangun gedung baru tahun 2010 dengan pagu anggaran Rp 30 miliar tersebut.
Sebelum menetapkan pemenang tender, proses tender sempat diulang panitia, dengan alasan perusahaan yang memasukkan penawaran, yakni PT Hutama Karya, PT Sige Sinar Gemilang, PT Lince Romauli Raya, PT Leo Tunggal Mandiri, PT Karya Agung Sejati Nada Jaya, PT Pilar Persada, PT PP Tbk, dan PT Asa Jaya Amalia, tidak memenuhi persyaratan dan dinyatakan gugur.
Maka panitia mengundang semua peserta yang tercantum dalam daftar untuk mengajukan penawaran secara lengkap (administrasi, teknis, dan harga).
Setelah itu, tepatnya 22 September 2010, panitia pun menetapkan pemenangnya adalah PT Leo Tunggal Mandiri beralamat di Jalan Letjend Suprapto Nomor 29 L, RT 007, RW 002, Kelurahan Harapan Mulia, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Perusahaan raksasa ini dipimpin Leonard Silalahi SE.
Harga penawaran terkoreksi yang diajukan sehingga dimenangkan panitia adalah sebesar Rp26.904.383.909,63. Maka sisa pagu berkisar Rp 3 miliar. Uniknya, pemenang tender belum diumumkan dan kontrak/surat perintah mulai kerja (SPMK) belum diserahkan, tetapi pekerja PT Leo Tunggal Mandiri sudah berada di areal proyek.
Sedangkan kontrak kerja gedung yang dibangun adalah berlantai 3 dan 4. Masa pelaksanaannya ditetapkan 85 hari dengan batas kontrak hingga 28 Desember 2010. Kemudian masa pemeliharaan diberi tenggat 1 tahun di areal bangunan sekitar 5.400 M2.
Agusto Silalahi, salah seorang rekanan yang dinyatakan kalah dalam proses tender, mengaku kekalahannya cukup menyakitkan. Akibat kekesalan dan rasa sakit hatinya, pengusaha ternama di Pematangsiantar itu membakar semua berkas maupun persyaratan peserta tender.
Warga Jalan Viyatayudha, Kelurahan Bukit Sofa, Pematangsiantar ini menegaskan, pemenang lelang tidak melampirkan salah satu syarat atau berkas kelengkapan dokumen penawaran menurut spek, yaitu dukungan terhadap peralatan yang dibutuhkan sebagai asumsi awal bahwa proyek tersebut dapat dikerjakan.
Tapi sayang, Agusto enggan menjelaskan lebih luas, karena dianggap mengungkit pengalaman pahitnya. Agusto menyarankan agar Konstruktif langsung mengkonfirmasi sejumlah nama yakni Rupinus Sinaga, Bernandus Simanjuntak, Jhon Tambunan dan Jekson Gultom.
Nama tersebut di atas menurut Agusto, harus bertanggung jawab memberikan informasi kepada publik menyangkut proyek pembangunan RSUD yang diisukan, berkas atau dokumennya tidak kelihatan. "Mereka harus tanggung jawab untuk memberikan informasi," tandasnya.
Terkait nama Rupinus Sinaga, aktifis pemerhati pembangunan, Direktur Eksekutif Komisi Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa (KP2BAJA) Sumatera Utara, Pancasila Sibarani menuding Rupinus merupakan titipan yang ‘bermain’ di proyek ini.
Menurut Sibarani, selain pencopotan Bernardus Sinaga dan Andres Tarigan yang sebelumnya dihunjuk sebagai panitia tenaga teknis, digantikan oleh Rupinus Sinaga, bukan tanpa alasan. Dia mengendus ada konspirasi untuk memaksakan kemenangan PT Leo Tunggal Mandiri.
Pancasila menegaskan, proyek ini kental muatannya dengan permainan ‘mafia’ anggaran dari pusat. Indikasinya, kata Pancasila terlihat ketika Leo Silalahi selaku pemlik PT Leo Tunggal Mandiri, diduga keluarga dekat Sudi Silalahi.
Kata dia, awalanya proses tender berjalan normal sampai pada proses pemasukan penawaran. Tetapi ketika memasuki tahap evaluasi, ada predikisi PT Leo Tunggal Mandiri kalah dalam lelang.
Lantas panitia penyerahan barang dan jasa, mengeluarkan pengumuman bahwa tender batal, dengan alasan tidak ada satu pun peserta tender melengkapi persyaratan.
“Seharusnya panita penyerahan barang dan jasa menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi para peserta tender. Tetapi itu tidak dilakukan,” beber Pancasila.
Dengan dibatalkannya proses pelelangan, seharusnya panitia mengumumkan kembali lelang ulang. “Tetapi itu tidak dilakukan panitia. Yang dilakukan hanya meminta peserta lelang melengkapi kembali dokumen yang dibutuhkan,” endusnya.
Menurut Sibarani, apa yang telah dilakukan panitia, telah melanggar Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa. “Dalam Keppres tidak ada namanya melengkapi dokumen yang ada adalah lelang ulang,” tegasnya.
Dia menyebut pembangunan gedung baru RSUD dr Djasamen Sargaih merupakan bala bagi masyarakat Pematangsiantar. “Saya katakan bala, karena pembangunan gedung baru rumah sakit itu merupakan proyek politik. Proyek pembangunan rumah sakit umum itu diberikan kepada Walikota Pematangsiantar saat itu, yakni RE Siahaan, yang merupakan Ketua DPC Partai Demokrat,” jelasnya.
Misteri Dokumen Kontrak
Menelisik dokumen proyek yang juga salah satu pemicu konflik, Komisi III telah beberapa kali melakukan pemanggilan terhadap Direktur RSUD, panitia proyek, dan rekanan, termasuk meminta data-data seperti kontrak kerja, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), termasuk berita acara penyelesaian pengerjaan proyek. “Hanya saja, direktur RSUD dr Ria Telaumbanua beralasan pemberian dokumen itu menunggu petunjuk dari Walikota, Hulman Sitorus,” katanya.
Tidak diberikannya data-data proyek RSUD ini sudah pula disinggung DPRD. Termasuk Fraksi PDI-Perjuangan, saat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun 2010, Rabu 21 September 2011. Bahkan Walikota Hulman Sitorus diminta bersikap tegas terhadap dr Ria Telaumbanua akibat tak memberikan dokumen proyek tersebut.
Anehnya, jawaban Walikota Hulman Sitorus menyatakan terkait penyerahan data-data proyek itu, menunggu petunjuk dari pemerintah pusat,. Menurut Ketua Komisi III, Frangky Manullang, jawaban itu dinilai tak memuaskan. “Atas penjelasan itu, Ketua DPRD setuju agar dibentuk semacam tim kerja, jika data proyek belum juga diserahkan sampai pembahasan P-APBD 2011 ,” sebut Franky.
Salah seorang Panitia Penyerahan Barang dan Jasa Pembangunan RSUD dr Djasamen Saragih, Jhon Tambunan mengatakan dokumen itu tidak ada di RSUD dr Djasamen Saragih. Ini disampaikan Tambunan, Senin (3/10) di kantornya, Dinas PU Marga, Pematangsiantar. Entah dasar apa, Tambunan mengatakan dirinya juga sama sekali tidak mengingat rangkaian proses pembangunan RSUD dr Djasamen Saragih.
"Saya tidak ingat lagi. Karena semua itu ada dalam dokumen," kilah Tambunan. Anehnya, dia juga bilang tidak mengingat kapan dimulainya proses pembangunan rumah sakit itu. Bah?!
Demikian keterangan dari Direktur RSUD dr Djasmen Saragih, dr Ria Novida Telaumbanua. Wanita berparas cantik ini mengatakan, pertanggungjawaban pelaksanaan proyek pembangunan RSUD dr Djasmen Saragih belum juga diberikan dr Ronal Saragih, selaku direktur sebelumnya. Ronald pun sekarang menjabat Kepala Dinas Kesehatan Pematangsiantar.
Alasan kenapa belum ada serah terima pertanggungjawaban dari direktur lama, Ria tidak mengetahui sebab musababnya. "Saya tidak tahu, kenapa dokter Ronald belum menyerahkan berkas pertanggungjawabannya," tukasnya.
Tabloid ini pun berkali-kali memburu dr Ronald, namun susah didapat. Nomor telepon selulernya tidak pernah aktif ketika dikontak untuk mengorek keterangan mengapa belum melakukan serah terima kepada dr Ria Novida Telaumbanua.
Ria mengaku pernah mempertanyakan hal itu secara langsung kepada dr Ronal Saragih, termasuk kepada Walikota dan Sekretaris Daerah (Sekda) Pematangsiantar. Namun Ria tidak bersedia menuturkan penjelasan apa yang diperolehnya. Dia menyarankan Konstruktif menanyakan hal tersebut langsung pada walikota atau sekda.
Begitupun, Ria mengaku tetap bermohon kepada Walikota agar segera menindaklanjuti serah terima pertanggungjawaban pelaksanaan proyek tersebut. "Saya tetap sampaikan pada Bapak Walikota, untuk menyelesaikan persoalan ini," tandas Ria, melalui telepon selulernya, Selasa (4/10).
Karena DPRD tidak mendapat dokumen kontrak, Ketua DPRD Marulitua Hutapea menerbitkan surat meminta data dokumen kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Cabang Pematangsiantar, yang diantar langsung oleh anggota Komisi III, Rabu 22 Juni 2011.
Sedangkan, penjelasan diperoleh dari Kepala KPPN Pematangsiantar, M Sunarto saat ditemui di kantornya, Selasa (4/10), menyebut data terperinci pengerjaan RSUD dr Djasamen Saragih, ada di tangan manajemen rumah sakit dan masing-masing Satuan Kerja (Satker).
Itu sebabnya Sunarto mengaku tidak bisa memberikan data atau dokumen proyek tersebut. Karena menurutnya, KPPN hanya mengurusi pembayaran keuangan yang sumbernya dari APBN. “Soal beres atau tidaknya pengerjaan proyek itu adalah kewenangan dari Irjen Kementrian Kesehatan,” jelas Sunarto.
Kepala KPPN yang baru tiga bulan bertugas di Pematangsiantar itu menambahkan, proses pencairan dana harus melalui persyaratan. Antara lain melampirkan foto copy Daftar Isian Proyek Anggaran (DIPA) masing-masing Satker, nomor rekening rekanan, berikut atas nama CV, serta mengajukan penawaran jumlah yang dicairkan. Semua ini, kata Sunarto berdasarkan peraturan yang berlaku, khususnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010, tentang Pengadaan Barang dan Jasa dulunya Kepres Nomor 80 Tahun 2003.
Soal pelaporan pertanggungjawaban pengerjaan rumah sakit itu, Sunarto mengatakan masing-masing Satker menyampaikannya kepada KPPN Kantor Wilayah (Kanwil) di Medan. Sedangkan laporan pertanggungjawaban pembayaran keuangan, KPPN menyampaikannya kepada Kanwil dan Kementrian Keuangan.
Dalam surat Kepala Kantor KPPN Kota Pematangsiantar M Soenarto menjawab surat Ketua DPRD, bahwa uang proyek sebenarnya sudah dibayar 100 persen pada Desember 2010 kepada PT Leo Tunggal Mandiri. Dalam surat KPPN tertanggal 22 Juni 2011, nomor S267/WPB.02/PB.0421/2011, tertera rincian pembayaran proyek RSUD dr Djasamen Saragih dalam 7 tahap.
Tahap awal tertanggal 15 Oktober 2010 dengan nomor Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) 046094Q sebanyak Rp 4,793 miliar. Dana ini sebagai uang muka. Kemudian pembayaran termin I sebesar Rp3,745 miliar pada 30 Nopember 2010 dengan nomor SP2D 047132Q. Pembayaran termin II sebesar Rp3,795 miliar pada 15 Desember 2010 nomor SP2D 047778Q.
Dalam tempo satu pekan, persisnya 22 Desember 2010, KPPN mencairkan dana termin III sebesar Rp3,795 miliar. Termin IV sebesar Rp3,795. Termin V sebesar Rp2,609 miliar. Selain itu KPPN juga telah melunasi dana jaminan pemeliharaan atau retensi 5 persen sebesar Rp1,186 miliar.
Seluruh dana yang dibayarkan itu sudah dipotong pajak. Menurut rincian alokasi dana bahwa untuk bangunan fisik disalurkan sebesar Rp26,9 miliar. Untuk perencanaan dan pengawasan sebesar Rp1,692 miliar.
Perlu dicermati, bahwa KPPN sudah melakukan pembayaran 100 persen di bulan Desember 2010. Tetapi fakta pekerjaan proyek, justru belum selesai hingga April 2011. Begitu pula termin demi termin pencairan dana, menunjukkan perjanjian kontrak tidak pernah mengalami adindum (perubahan jadwal penyelesaian kegiatan proyek-red). Pasalnya, keseluruhan dana bahkan uang jaminan pemeliharaan 5 persen, sudah cair akhir Desember 2010.
“Jawaban surat dari KPPN memang sudah kita terima. Berkasnya kita serahkan ke Komisi III, guna menelusuri apakah ada kejanggalan atau tidak,” kata Maruli Hutapea. Ketika ditanya apakah DPRD mencermati kenapa KPPN mencairkan seluruh dana pada akhir Desember, sedangkan proyek berakhir Mei 2011, katanya itu bisa dilakukan karena ada peraturan Menteri yang memperbolehkan pencairan itu. “Cuman saya lupa peraturan menteri apa yang memperbolehkan itu,” katanya sembari meninggalkan kantor DPRD.
Pansus DPRD
Rentetan persoalan ini belum tuntas hingga sekarang. DPRD Pematangsiantar dengan fungsi yang dimiliki, seakan tak berdaya. Setidaknya terendus dari keterangan Ketua Komisi III Franky Manullang.
Menurut Franky yang membidangi pengawasan pembangunan mengatakan langkah dilakukan DPRD meminta dokumen proyek, sebenarnya pungsi pengawasan mengetahui bagaimana kinerja pihak RSUD dr Djasamen Saragih, termasuk rekanan pelaksana proyek. Diakui, sejak awal DPRD tidak dilibatkan sampai proyek itu selesai dikerjakan.
Disinggung rencana DPRD akan membentuk Panitia Khusus (Pansus), kata Franky niat itu masih dalam pembahasan yang harus disesuaikan dengan Tata Tertib (Tatib) DPRD.
“Kita belum bisa memastikan apakah nantinya membentuk Pansus atau tim kerja untuk mengusut proyek ini. Kebetulan kita sedang mengikuti rapat Badan Anggaran Perubahan APBD,” kata Franky.
Anggota Dewan dari Partai Demokrat ini tidak menampik adanya indikasi pelanggaran hukum. Hanya saja apa pelanggaran hukum menjadi temuan Komisi III, belum bisa dipaparkan dengan dalih data proyek belum diterima.
“Ketika kita meminta data itu mereka mengatakan harus izin dari walikota,” sebut Franky yang juga diamini Maurit Siahaan.
Pernyataan Ketua DPRD Marulitua Hutapea SE tentang pembentukan Pansus, mengatakan perlu dilakukan untuk menelusuri seluruh dokumen proyek termasuk fisik bangunan. “Kemungkinan nanti ada dokumen yang bisa diberikan PPK, tapi ada juga yang tidak,” jelasnya. Disinggung soal dokemen apa yang bisa diberikan PPK , Maruli mengatakan menunggu Pansus atau tim kerja dibentuk.
Harus Didenda
Hal lain patut ditelusuri dalam proyek ini mengenai denda layaknya dikenakan kepada rekanan atas keterlambatan pengerjaan kontrak kerja. Akibat keterlambatan penyelesaian pembangunan itu, diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp1,34 miliar.
Indikasi kerugian ini disampaikan EB Manurung sesuai pemberitaan di mass media. Menurutnya sesuai Peraturan Dirjen Keuangan Nomor 44 Tahun 2010, proyek yang belum selesai dikerjakan bisa dibayarkan 100 persen dengan syarat ada garansi dari bank.
Namun, yang menjadi kecurigaan, seharusnya Pengguna Anggaran (PA dalam hal ini Direktur RSU Dr Djasamen Saragih bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek, memberikan denda keterlambatan penyelesaian proyek terhadap rekanan, sebesar lima persen dari nilai kontrak. “Penuntasan kerja terlambat, sehingga tidak sesuai kontrak,” beber EB Manurung.
Mengenai denda, EB Manurung menjelaskan, hal itu diatur dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. “Harusnya rekanan dikenakan denda 5 persen atas keterlambatan ini dan denda itu jadi pemasukan kas daerah,” ucapnya.
Proyek dikerjakan terlambat. Pembayaran terhadap rekanan diserahkan bulat-bulat. Wajar kemudian anggota dewan EB Manurung angkat bicara. Menurut dia, rekanan sepatutnya dikenakan sanksi. Manurung menyebut, pemberian sanksi itu sangat jelas diatur berdasarkan Keputusan Presiden, mengatur keterlambatan penyelesaian proyek, harus dikenakan denda.
“Setiap proyek yang terlambat diselesaikan dari perjanjian kontrak akan dikenakan denda,” tukas EB Manurung. Dewan yang diusung Partai Buruh itu menambahkan, pihaknya sudah pernah melakukan konfirmasi dengan KPKN.
Jawaban yang diperoleh, keterlambatan penyelesaian proyek bangunan RSUD dr Djasamen Saragih, sama sekali tidak dikenakan denda, apalagi membayar dendanya.
Keterlibatan DPRD Pematangsiantar dalam hal itu, EB Manurung mengaku memiliki batasan. Mengingat sumber dananya bukan dari APBD Pematangsiantar, melainkan dari APBN. Maka yang lebih memiliki otoritas pengawasan adalah DPR RI.
“Namun bukan berarti DPRD Pematangsiantar tidak bertanggungjawab untuk mengawasi,” sebutnya.
Selanjutnya, EB mengatakan, DPRD telah melakukan upaya-upaya. Salah satunya membuat laporan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar melakukan pemeriksaan.
Anggota Komisi III lainnya, Thomas Ardi juga mengatakan, pembayaran 100 persen pada Desember 2010, di saat pekerjaan belum selesai, menunjukkan ada “permainan” sistem pembayaran dan pelaksanaan proyek.
Harusnya, pengguna anggaran proyek dan pejabat pembuat komitmen (PPK) mengenakan denda keterlambatan kepada PT Leo Tunggal Mandiri. “Denda bisa dihitung, asalkan pihak RSUD transparan,” sebut Thomas.
Praktisi hukum, Binaris Situmorang SH menegaskan niat DPRD melalui Komisi III, bila mengadukan kejanggalan proyek tersebut, harusnya diikuti langkah proaktif kepolisian, menggali potensi kerugian negara.
“Masyarakat sudah tahu masalah ini. DPRD selaku wakil rakyat, segeralah melakukan yang terbaik. Polisi juga dapat melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi sesuai UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan undang-undang No 20 Tahun 2001,” katanya.
Tentang serah terima proyek yang dikeluhkan dr Ria Novida Telaumbanua, kata Binaris, sebenarnya bukan harus kepada pimpinan ataupun direktur rumah sakit. “Pimpinan itu kolektif, bisa melalui panitia maupun pihak yang memberi pekerjaan kepada pemborong. Yang jadi persoalan, kenapa sampai saat ini belum serah terima. Kenapa pemborong belum meyerahkan bangunan yang telah selesai dikerjakan. Apa yang ditutupi di balik semua ini,” cermat Binaris.
Idealnya, menurutnya, panita menyurati rekanan atau pemborong agar melakukan serah terima berdasarkan tenggang waktu yang disepakati. DPRD juga bisa meminta secara resmi hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) apakah ada kerugian negara.
Diusut Polisi
Menyahuti itu, Polresta Pematangsiantar tampaknya memang tidak tinggal diam. Polisi secara aktif melakukan tugasnya. Menggelar serangkaian pemanggilan terhadap sejumlah pihak yang berkait dengan pengerjaan proyek senilai Rp28,6 milyar itu.
Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Pematangsiantar, AKP Azharuddin, Selasa (4/10), ketika dimintai keterangannya membenarkan Polisi melakukan upaya klarifikasi terhadap sejumlah pejabat Pemko Pematangsiantar
Secara teknis, Kasat Reskrim menunjuk Apida MB Simanjuntak menjelaskan, upaya klarifikasi tersebut atas keterlambatan penyelesaian pengerjaan proyek RSUD dr Djasamen Saragih sesuai kontrak yang telah disepakati.
Upaya klarifikasi menurut Aipda MB Simanjuntak, memanggil beberapa pihak terkait, yakni dr Ronal Saragih, sebagai Direktur RSUD dr Djasamen Saragih ketika proyek dikerjakan, Santo Simanjuntak sebagai Pejabat Pembuat Kesepakatan (PPK), dr Ria Novida Telaumbanua, selaku Direktur RSUD dr Djasamen Saragih saat ini, dan Bendahara Boru Harahap.
Setelah upaya klarifikasi, kepolisian memantau apakah sudah diberikan denda sebesar Rp1,3 milyar yang pengawasnya sendiri adalah PPK. Jika memang belum dibayarkan, maka indikasi denda tersebut diduga sengaja untuk digelapkan.
“Kita akan pantau, apakah denda Rp1,3 milyar sudah diberikan pihak rekanan. Jika belum dibayarkan, berarti ada indikasi untuk menggelapkan denda tersebut,” tegas Aipda MB Simanjuntak.
Mirip Kejadian Sebelumnya
Pembangunan gedung baru RSUD Dr Djasamen Saragih ini juga hampir mirip dengan kejadian sebelumnya. Kala itu ada praktek monopoli dilakukan mantan kepala daerah RE Siahaan dan Imal Raya Harahap, terhadap tender perbaikan bangsal tahun 2005. Dananya berkisar Rp1,9 miliar. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan perkara menyatakan mantan Walikota Siantar, RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap bersalah, karena terbukti ikut bersekongkol memenangkan salah satu perusahaan sebagai pemenang tender.
Rentetan putusan KPPU itu disambut baik DPRD. Kemudian DPRD yang di ketuai Lingga Napitupulu, Saud Simanjuntak dan Sirwan Hazly Nasution mengajukan kasus ini ke Mahkamah Agung. Berdasarkan putusan KPPU, mantan pasangan Kepala Daerah itu telah melanggar sumpah dan janji jabatannya selaku pasangan Kepala Daerah. Sehingga hak angket DPRD memutuskan memberhentikan mantan Walikota RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap dari jabatan sebagai Kepala Daerah. Pemberhentian itu dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) DPRD No 12/2008.
Kemudian, sesuai syarat prosedural UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, tim DPRD mendatangi Gubernur Syamsul Arifin supaya menerbitkan rekomendasi kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memberhentikan mantan Kepala Daerah RE Siahaan dan Imal Raya Harahap. Tapi naasnya, semua karya politik DPRD ini hanya ‘isapan jempol’ tanpa hasil apapun. Hingga memasuki babak akhir periodeisasi jabatan kepala daerah, keputusan pemberhentian tetap tak ‘bertaring’. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar