Selasa, 07 Desember 2010

Lampu Merah Tak Perduli, Jalan Terus..!!


Sepenggal syair lagu ini dinyanyikan artis kondang Iwan Fals. Tujuan syair lagu tentang kritikan kepatuhan berkenderaan dan Trafick Light. Syair lagu ini pun sangat pantas ditujukan bagi Pemerintahan Kota Pematangsiantar. Satu sisi, pemerintah dalam berbagai kesempatan kerap menghimbau masyarakat untuk tertib berlalu lintas. Namun bagaimana pula jika ternyata Traffic Light (Lampu Rambu Lalu Lintas) saja sudah tiga tahun tidak berfungsi. Hal ini terjadi di Simpang Rambung Merah, Pematangsiantar, di daerah padat arus lalu lintas. Padahal, hampir setiap tahun dana perawatan rutinnya di tampung di dalam APBD.

“Hampir setiap pagi ada saja kecelakaan di persimpangan ini. Untungnya tidak pernah ada kecelakaan parah. Hanya senggolan atau benturan antara kendaraan. Namun itu terhadi hampir setiap pagi.” Demikian diceritakan Sahala Manurung, salah seorang warga yang bertempat tinggal di Jalan Medan persis di persimpangan Rambung Merah.

Persimpangan Rambung Merah merupakan sebuah persimpangan empat arah yang terletak di Kecamatan Siantar Timur. Titik ini menunjuk arah ke Kota Medan, Pusat Kota Siantar, Terminal Parluasan dan ke arah Jalan Asahan.

Ke empat arah jalan ini memiliki Traffic Light masing-masing. Namun semuanya tidak ada yang berfungsi maksimal. Bahkan, Traffic Light yang dari arah Jalan Haji Ulakma Sinaga (Mambung Merah) sudah sama sekali tidak menyala selama tiga tahun. Dari tiga box Traffic Light, ketiganya tidak menyala.

Alhasil, seluruh pengemudi yang datang dari arah Jalan Haji Ulakma Sinaga mewanti-wanti kendaraan yang datang dari arah parluasan. Jika kendaraan dari arah parluasan terus melintasi Traffic Light merah dari arah tersebut, maka mereka juga ikut menembus persimpangan.

“Ya, tiga tahun lalu seperti itu. Sama yang di sini sama lampu dari arah parluasan. Jadi kalau hijau di sana, yang di sini juga ikut jalan. Kalau di sana berhenti, di sini juga berhenti. Kalau sekarang enggak tahu. Orang gak pernah hidup lampunya,” Ujar Sahala sembari tertawa miris. 

Sementara dari amatan The Local News, Traffic Light dari arah parluasan juga sudah dalam kondisi yang tampak ironis. Sebab, dari tiga box lampu dari arah tersebut hanya satu yang menyala. Itu pun hanya lampu yang berwarna merah saja. Sehingga banyak kendaraan, yang mungkin jarang melintasi daerah itu,  memilih terus menembus persimpangan tersebut sehingga menyebabkan kemacetan dan sesekali nyaris mengakibatkan tabrakan.

Kondisi serupa juga tampak pada Traffic Light dari dua arah lainnya yakni dari arah Medan dan dari pusat Kota Siantar. Tidak ada yang berfungsi sempurna.

Hal yang sudah berlangsung selama tiga tahun ini membuat Sahala yang juga aktivis LSM Lepaskan ini, menuntut Pemko untuk segera memperbaikinya.

“Kemarin Walikota di surat kabar mengatakan kondisi Siantar bobrok. Nah, situasi di persimpangan ini menunjukkan bahwa kebobrokan itu justru datang dari Pemko. Jadi Pemko harus segera memperbaikinya. Jangan taunya menuduh rakyat,” desak Sahala.

Keprihatinan serupa atas kondisi Traffic Light di persimpangan Rambung Merah juga disampaikan Carles Siahaan, SH.

Pria yang juga bertempat tinggal persis di Simpang rambung Merah (Jalan Ahmad yani) ini mengaku bingung bagaimana Traffic Light bisa serusak itu.

“Lihatlah tiangnya saja sudah berkarat. Yang di sana sudah patah. Nanti-nanti jatuh bisa menimpa pengendara,” kata Carles sembari menunjuk box Traffic Light yang dari arah parluasan yang sudah patah dan hanya menggantung pada kabelnya saja.

Kondisi itu, kata Carles yang juga dikenal sebagai Ketua DPD Gerakan Pemuda Demokrat Indonesia perjuangan (GP-DIP) ini, menjadi sangat membingungkan. Sebab jika menilik APBD, setiap tahun dana untuk perawatan rutin Traffic Light selalu ditampung dalam jumlah yang besar.

Oleh karenanya ia juga meminta walikota untuk mengecek penggunaan dana itu selama ini.

“Kemana uang itu di buat. Enggak masuk akal kan bisa Traffic Light sehancur ini sementara uang perawatannya jalan terus,” tukasnya.

Lebih lanjut, ia juga meminta agar dalam penunjukkan pejabat Kepala Dishub kelak, Walikota benar-benar memilih orang yang mau bertanggungjawab atas keselamatan pengendara dan memahami tupoksinya. (nda)
“Rapor Merah” Bagi DPRD Simalungun


Sejak dilantik di tahun lalu, anggota DPRD Simalungun cendrung jarang masuk kantor. Hal itu terlihat dari suasana kantor DPRD Simalungun yang sehari-hari terlihat sunyi. Kantor tersebut hanya tampak ramai ketika ada jadwal-jadwal rapat rapat. Dan setelah itu kembali sunyi, senyap dan sepi. Hanya beberapa staf pegawai sekretariat terlihat dengan aktifitasnya masing-masing. Terlihat dua minggu belakangan ini gedung yang disebut wakil rakyat ini tetap terlihat sepi.

Menurut ketua DPRD, Binton Tindaon ketika ditemui di ruang kerjanya, suasana kantor DPRD yang setiap hari cenderung sunyi dikibatkan para anggota DPRD lebih suka melakukan kunjungan ke lapangan untuk menjaring aspirasi rakyat sebagaimana amanah yang diembannya. Sementara selebihnya, mungkin sedang melakukan study banding ke luar daerah. Pernyataan Ketua DPRD ini tak sepenuhnya benar. Ada oknum-oknum anggota DPRD yang berkeliaran diseputar Kota Pematangsiantar. Ada yang bersembunyi di rumahnya masing-masing atau ditempat-tempat terselubung menghindari incaran wartawan.

“Sebagian dari mereka melakukan study banding ke luar kota. Ada yang study banding ke Kalimantan, sebagian ada yang kerja ke Jakarta. Apalagi inikan mau pembahasan RAPBD, jadi mereka perlu melihat banyak hal yang mungkin bisa menjadi masukan ke pemerintah untuk pembangunan Simalungun,” ujar Binton.

Lalu bagaimanakah hasil dari kunjungan ke lapangan dan study banding selama ini yang membuat anggota DPRD jarang masuk kantor? Dijelaskannya, hasil dari kunjungan ke lapangan tersebut menjadi masukan terhadap Pemkab. Masukan dimaksud disampaikan melalui surat yang disebut sebagai Laporan Kunjungan Kerja Komisi. Sayangnya, laporan hasil kunjungan komisi belum pernah diumumkan kemasyarakat melalui media massa. 

Selain itu dikatakannya, kinerja DPRD dapat juga dilihat dari sisi hak legislasi. “Sampai saat ini sudah ada 14 Perda yang disahkan DPRD. Itulah contoh bahwa DPRD bekerja,” terangnya.

Namun, saat penjelasan Binton itu dikonfrontir terhadap Adil Saragih selaku Sekretaris Eksekutif LSM Simalungun Corruption Watch (SCW), penjelasan tersebut dinilai hanya retorika belaka.

Dikatakan Adil, dari amatannya selama ini kebetulan tinggal disekitar Kecamatan Raya,  jarangnnya anggota DPRD tampak di Gedung DPRD lebih karena mereka malas masuk kantor. Menurutnya, jika DPRD memang sungguh-sungguh melakukan kunjungan kelapangan seperti yang dijelaskan Binton, tentunya akan terlihat dari kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan.

“Lihatlah, dari semua Perda yang mereka sahkan itu adalah perda yang diusulkan oleh pihak Pemkab. Tidak ada satu perda pun yang lahir dari hal inisiatif DPRD. Ketua ketua Komisinya pun lebih sering mengurusi yang bukan bidangnya. Jadi, kunjungan lapangan dan study banding seperti apa yang mereka lakukan?” tanya Adil menyangkal ucapan Ketua DPRD Binton Tindaon.

Sementara ini informasi dihimpun The Local News, sejauh ini ada 14 Perda yang telah disahkan oleh DPRD, antara lain 4 Perda pencabutan, 7 Perda revisi dan 2 Perda baru.

Perda yang dicabut yakni, Perda No. 7 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pengusahaan Burung Walet, Perda No. 4 Tahun 2002 Tentang Restribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah, Perda No. 8 Tahun 2002 Tentang Restribusi Pelayanan Pemakaman, Pengabuan Mayat, Serta Penataan dan Pembangunan Tambak, Tugu/Monumen, dan Perda No. 1 Tahun 2004 Tentang Restribusi Izin Pertambangan Daerah. Adapun alasan pencabutan, karena  ke empat Perda ini dinilai telah bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sementara dari tujuh Ranperda revisi yang diajukan Bupati, enam diantaranya disahkan menjadi perda baru, sedangkan yang satunya lagi tetap pada materi revisi. Ke enam Perda dimaksud ialah Perda Tentang Restribusi pemeriksaan Kesehatan Hewan dan Rumah potong Hewan, Perda Tentang Restribusi Izin Usaha Kepariwisataan, Perda Tentang Restribusi Izin Trayek dan Tidak Dalam Trayek, Perda Tentang Restribusi Usaha Penggilingan Padai Huller dan Penyosohan Beras, Perda Tentang Restribusi Izin dan pengelolaan Sarang Burung Walet, dan Perda Tentang Restribusi izin Pelayaran di Perairan Danau Toba Kabupaten Simalungun. Sementara Perda yang tetap pada materi revisi, yakni Perda Tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Simalungun.
Dua Perda baru ialah, Perda tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi di Lingkungan Pemkab Simalungun, dan Perda Tentang Badan Penanggulangan Bencana. Dan Perda terakhir yang baru-baru ini disahkan ialah Perda Tentang Perubahan APBD TA 2010.
Menurut Adil, jika mencermati keseluruhan Perda tersebut, maka argumentasi dari pihak DPRD yang mengatakan bahwa mereka sering melakukan kunjungan lapangan untuk menyerap aspirasi masyarakat, telah terbantahkan. Pasalnya tidak ada yang benar-benar penting alias menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat. Apalagi yang bersentuhan dengan produk Perda tersebut. 

“Jika benar-benar menyerap aspirasi masyarakat, maka yang mereka buat adalah Perda tentang kesehatan, pendidikan, atau juga tentang  transparansi informasi. Itukan tidak ada. Padahal saya yakin bahwa itu yang dibutuhkan masyarakat. Siapapun Ketua Komisinya, harusnya bekerja bukan memilih diam,” ujarnya.

Lebih lanjut, Adil meminta anggota DPRD sebaiknya lebih giat melakukan fungsinya secara jujur dan tulus, agar kelak tidak berbenturan dengan rakyat karena kinerjanya dianggap buruk. “Jangan waktu kampanye, semua bilang akan membela rakyat. Kepentingan rakyat yang mana dibela?. Dalam 5 tahun ini anggota DPRD pilihan rakyat ini akan mendapat penilaian dari rakyat apakah dipilih kembali atau tidak,” ungkap Adil. (nda)
 Timbul Jaya Sibarani
                                                               





                                                                 Albert Saragih









Bernhard Damanik




                                                                             Binton Tindaon





Resman Saragih, Ssos









                                                         Rospita Sitorus
Pelantikan Pejabat  Simalungun Ibarat
 “Lompatan Sirkus”



Masih sekitar satu bulan menjabat sebagai Bupati, JR saragih telah mengganti sekitar 200 orang pejabat struktural. Yang menjadi sorotan publik, pergantian tersebut disinyalir tidak sesuai mekanisme. Ada yang tidak pernah eselon langsung diangkat menjadi Kadis. Yang sebelumnya Kadis digeser menduduki jabatan lebih rendah menjadi Sekretaris, dan ada pula yang baru beberapa  tahun menjadi guru langsung diangkat menjadi Kepala Sekolah. Bah! Inikah yang disebut arogansi Kepemimpinan?

Tindakan bupati yang melakukan pegantian sejumlah pejabat eselon baru-baru ini spontan menjadi polemik publik. Pergantian posisi sejumlah pejabat tersebut dianggap ibarat “atraksi lompatan sirkus” pada ranah yang seharusnya menaati pola jenjang karier. Bahkan beberapa pihak langsung melontarkan kritikan. Kali ini kritkan paling pedas datang dari anggota DPRD Komisi II, Bernhard Damanik.

“Pelantikan yang dilakukan Bupati itu tidak sesuai mekanisme. Hal itu bisa menimbulkan keresahan dikalangan PNS, sebab disinyalir mengabaikan pola dasar karier sebagaimana diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan,” ungkap Bernhard saat diwawancarai, The Local News Jumat pekan lalu.

Dijelaskannya, mekanisme pergantian pejabat sesungguhnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Antara lain, PP No 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, PP No 13 Tentang Perubahan PP 100 Tahun 2000 Tentang Wewenang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No 13 tahun 2002 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No 100 Tahun 2000 Tentang Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.

Pola dasar karier disebutnya menjadi acuan Bupati mengangkat pejabat termaktub di dalam pasal 14 ayat (1) PP 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Di dalam ayat itu ditegaskan, bahwa untuk menjamin kualitas dan objektifitas dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah di setiap instansi, dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan dan selanjutnya disebut Baperjakat. Tugas pokok Baperjakat memberikan pertimbangan kepada pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dalam hal ini Bupati melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah. Baperjakat pun dalam memberikan pertimbangan, harus dengan pola dasar karier menggunakan unsur-unsur antara lain; pendidikan formal, pendidikan latihan, usia, masa kerja, pangkat ruang golongan dan tingkat jabatan.“Bahkan kita duga Baperjakat sama sekali tidak ada dibetuk,” ungkap Bernhard.

Salah satu pengangkatan pejabat yang menjadi sorotan Bernhard yakni pengangkatan jabatan Sekda yang sebelumnya dijabat Mahrum Sipayung digantikan Ismail Ginting sebagai Pejabat Pelaksana Tugas Sekda.
“Dalam PP 96 Tahun 2000, pada pasal 12 ayat (1) bahwa pengakatan Sekda harus mendapat persetujuan Pimpinan DPRD sesudah dikoordinasikan dan mendapat persetujuan dari gubernur. Nah ini kan tidak ada persetujuan dari pimpinan DPRD,” bebernya.

Lebih lanjut, ketidaktaatan terhadap mekanisme juga terjadi dalam pengangkatan sejumlah pejabat struktural lainnya. Disebutkan, pada pasal 7 PP No 13 ayat (1), PNS yang akan atau telah menduduki jabatan struktural harus mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut dan dapat dibuktikan dalam bentuk sertifikat.

Kemudian, tentang orang yang menduduki jabatan struktural dapat diangkat dalam jabatan struktural setingkat lebih tinggi, apabila yang bersangkutan sekurang-kurangnnya telah 2 (dua) tahun dalam jabatan struktural yang pernah atau masih didudukinya, kecuali pengangkatan dalam jabatan struktural menjadi wewenang presiden. “Nah, ternyata, ada salah seorang Kabid golongan 4A diganti dengan orang yang masih golongan 3B. ini bagaimana logikanya?” bebernya lagi. “ Saya melihat ada arogansi kepemimpinan oleh bupati dalam pengangkatan pejabat. Maka selaku unsur pemerintahan, DPRD seharusnya menyikapi hal ini agar tidak membiarkan pelanggaran peraturan perundang-undangan,” tegasnya.

Namun berbeda dengan yang dikatakan Bernhard, ketua DPRD Binton Tindaon, justru mengaku tidak menemukan kesalahan dalam pelantikan sejumlah pejabat yang dilakukan Bupati JR Saragih baru-baru ini. Pernyataan itu disampaikan Binton saat ditemui di ruang kerjanya.

Misalnya pada perihal pengangkatan Ismail Ginting sebagai Pelaksana Tugas Sekda, Binton mengatakan bahwa pengangkatannya tidak memerlukan persetujuan Pimpinan DPRD. “Yang saya ketahui itu tidak lagi melalui persetujuan DPRD,” jawabnya.

Secara keseluruhan, ia juga tidak mengatakan belum menemukan adanya kesalahan mekanisme oleh Bupati. Binton beralasan pengangkatan pejabat adalah hak preogratif Bupati. Apalagi dia juga sama sekali belum mengenali secara personal para pejabat yang diangkat, sehingga belum bisa memberikan penilaian.

“Yang diangkat ini semua kan belum bisa saya kenal secara langsung. Karena memang ada yang tidak saya kenal. Jadi saya belum tahu apakah dia itu memenuhi syarat atau tidak. Lagian itu kan hak prerogatif Bupati. Soal bagaimana hasil kerja mereka nanti, di situlah kita lihat dan akan kita komentari. Kalau hasilnya bagus, ngapain kita komentari,” terangnya.

Non Eselon Jadi Kadispenjar

Salah seorang pejabat yang baru dilantik Bupati JR Saragih adalah Kepala Dinas pendidikan dan Pengajaran, Albert Sinaga. Informasi dihimpum The Local News, jabatan terakhir Albert Sinaga sebagai Pengawas Sekolah (non eselon). Secara mengejutkan beberapa waktu lalu Bupati JR Saragih langsung mengangkatnya menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadispenjar).

Saat dikonfirmasi, Albert tidak membantah soal posisi jabatan terakhirnya itu. Namun bagaimana riwayat dirinya diangkat menjadi Kadispenjar, dia langsung menolak memberi keterangan. Dia hanya bisa mengatakan bahwa sebagai PNS dia harus loyal. “Karena itu (pengangkatannya) menyangkut kebijakan Pemkab, silahkan lah tanya kepada bagian Humas Protokoler. Saya loyal, setia, kepada atasan. Kalau atasan memberikan kepercayaan lahir bathin,  saya pertanggungjawabkan,” kata Albert.

Pejabat Pemkab Simalungun yang baru dilantik beberapa waktu lalu ini pun menyatakan sikap menjalankan misi perubahan sebagaimana jargon yang diusung JR Saragih pada masa berkampanye dulu. Albert Sinaga mengatakan, dalam menjalankan tugasnya ke depan, segala hal yang akan dia lakukan tidak terlepas dari visi- misi JR Saragih ketika berkampanye yakni Perubahan. Dalam penerapannya, katanya akan memulai tugas-tugasnya dengan upaya mengembalikan “roh” pendidikan di Kabupaten Simalungun.

“Roh dimaksud ialah bahwa pendidikan itu untuk membangun karakter dan kepribadian,” kata Albert.
Maka itu, dia menyarankan seluruh instrumen pendidikan di daerah ini menyadari hal tersebut dengan menunjukkan peningkatan disiplin, loyalitas dan ketekunan. Albert sendiri berkeyakinan semua program tersebut akan mencapai hasil maksimal jika dimulai dari level paling atas dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Pengajaran.

“Saya perintahkan agar semua staf di Dinas ini untuk melayani masyarakat sebaik-baiknya. Saya tidak mau ada kutipan-kutipan liar di sini. Jangan nanti ada yang mau naik pangkat diminta harus membayar sekian… mau pindah harus bayar sekian… Saya tidak suka itu. Pelayanan terbaik harus jadi nomor satu,” ungkapnya.
Dengan menerapkannya di dinas tersebut, dia berkeyakinan bahwa langkah positif tersebut secara perlahan akan diterjemahkan dengan baik oleh stake holder yang ada dibawahnya.

Sementara itu, Kadispenda Resman Saragih yang juga baru dilantik di Pemerintahan Kabupaten Simalungun diketahui sebelumnya diketahui pernah menjabat sebagai Kepala Dinas (Kadis) Pendapatan dan terakhir sebagai Kepala Pelayanan Izin Terpadu Pemerintahan Kota (Pemko) Pematangsiantar mengatakan bahwa ia akan menekankan soal kedisplinan di dinas yang dipimpinnya. Tetapi, sebelumnya, jejak rekam dinas yang pernah dilakoninya di Pemko Pematangsiantar, sarat dengan ragam masalah.

“Kita akan menerapkan disiplin bagi seluruh pegawai,” demikian kata kunci yang dilontarkan pria ini
Selain soal kedisplinan,  Resman juga mengupayakan kinerja yang maksimal dari seluruh pegawai yang dipimpinnya. Menelusuri perihal adanya “atraksi lompatan sirkus” dalam pengangkatan pejabat Pemkab Simalungun, The local News melakukan konfirmasi terhadap Staf Ahli Humas Simesono Hia. Dalam keterangan Simesono disebutkan, bahwa pelantikan itu mengacu PP No. 100 tahun 2000. Namun bagaimana dengan yang diduga tidak sesuai dengan jejang karier dan kepangkatannya? Simesono hanya bisa berkata bahwa itu berdasarkan kepercayaan Bupati.

“Ya tetap mengacu kepada PP 100 Tahun 200 itulah. Selebihnya berdasarkan kepercayaan Bupati.lah.. kalau Bupati percaya kepada mereka, ya diangkatlah,” ujar Simesono saat dikonfirmasi melalui saluran telepon, Senin pekan ini.

Anggota DPRD Lainnya Angkat Bicara

Menanggapi polemik pengangkatan sejumlah pejabat Pemkab Simalungun, sejumlah anggota DPRD Simalungun pun mulai angkat bicara. “Itu menjadi hak Bupati. Tapi seyogiaya semua harus memperhatikan ketentuan dan peraturan yang ada khususnya PP 13 Tahun 2002, seperti harus memfungsikan Baperjakat melakukan rekruitmen yang obyektif dan berkualitas. Tapi, pejabat yang dilantik baru-baru ini, saya akan melihat kinerjanya ke depan. Ketika pejabat itu mampu menggiring program-program berasal dari pusat, maka saya akan memberikan apresiasi,” ungkap Timbul Sibarani.

Demikian juga pernyataan dari anggotaa DPRD lainnya Rospita Sitorus. Dikatakan pengangkatan pejabat itu belum menempatkan orang sesuai kapasitas. “Ini tidaklah  right man on the right place. Sebagian tidak sesuai dengan aturan yang ada. Tidak boleh dong  dari jabatan fungsional langsung ke struktural. PP 13 ini belum dipenuhi Bupati. Hal ini perlu diperhatikan karena PNS itu jabatan karier, memili kualifikasi dan tingkat pendidikan yang diperlukan,” sebut Rospita Sitorus

Hal senada juga diutarakan anggota DPRD lainnya Mariono. “Beliau (Bupati) seyogianya memperhatikan asas keadilan yakni ada pemerataan dari aspek suku dan agama. Lagian kalau bisa dari (daerah) Simalungun kenapa harus dari luar. Misalnya, Kabag Tapem itu bagus. Tapi koq non job dan diganti dengan yang saya niali kurang berkompeten. Jangan nanti pekerjaan-pekerjaan kita jadi tertunda karena mereka kurang ahli,” ungkapnya. (nda)
Ancaman Dan Polemik Keberadaan PT. TPL

PT Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan sebuah perusahaan yang dikenal skala besar memproduksi kayu Ekalyptus menjadi bubur kertas. Agar produksinya bisa berjalan lancar, maka perusahaan ini harus merubah tanaman hutan alam menjadi hutan produksi yang ada di Simalungun, Humbahas, Tobasa dan Ssamosir. Hanya menanam satu jenis kayu ekalyptus dikenali sangat rakus menghisap air ini sangat berpotensi merusak ekosistem alam dan spesies yang ada. Tanaman lain yang hidup disekitarnya termasuk binatang akan punah dengan sendirinya. Spesies binatang yang tadinya hidup dihutan alam itu tak lagi bertahan hidup karena sudah ditanami kayu ekalyptus. Maka, tak heran jika banyak binatang yang terancam mati dan pindah kelokasi hutan atau pemukiman warga. Seperti pemandangan binatang monyet disepanjang jalan dekat danau toba Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Simalungun, tampak menggantungkan hidupnya dari sedekah pengunjung yang singgah ke danau toba.
Belakangan ini, perusahaan  PT TPL  gencar melakukan berbagai aktivitas publik, diduga demi membersihkan citra buruk yang sudah terlanjur melekat, yaitu sebagai pencemar lingkungan dan pembabat hutan nomor satu ditanah hutan Tapanuli, dan Simalungun.  Perusahaan ini diduga melakukan berbagai kamuflase yaitu “mempribumikan” diri dengan memakai nama Toba, dan menambah embel-embel Lestari untuk menimbulkan kesan ramah lingkungan.                                                                                                                                                        Pemilik PT TPL ,Sukanto Tanoto, yang semula bernama PT.Inti Indorayon Utama, dianggap masyarakat sebagai destroyer dan sumber terjadinya bencana.  Sambil berganti kulit dan melakukan berbagai kamuflase untuk meraih simpati masyarakat Tapanuli, sampai saat ini gergaji mesin TPL masih terus menggasak hutan di empat kabupaten : Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Humbang Hasundutan (Humbahas), dan Samosir.                                                                                                                                                        

Akibat penggundulan hutan Sipangan Bolon hingga Sitahoan sebagai sumber mata air bersih disalurkan ke Parapat, kini sudah kekeringan sehingga masyarakat kewalahan mendapatkan air bersih. Harus menunggu 1-2 hari air bisa dialirkan ke rumah warga menunggu bak penampungan milik PDAM Tirta Lihou penuh. 
Selain mengandung polemik tersebut, PT TPL ini juga dituding tidak bermanfaat guna bagi kehidupan masyarakat yang ada disekitar lahan. Berharap dari bantuan dana dari CD/CSR (Community Development / Community Social Responsibility) juga tak bisa diandalkan. Jika dihitung, seharusnya sekitar Rp 1, 1 milliar dana CD/CSR  PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL) disalurkan di Kabupaten Simalungun. Namun kewajiban itu tak direalisasikan dikarenakan menurut PT TPL bahwa pihak pengelola dana CD kabupaten Simalungun belum melaporkan pertanggungjawaban penggunaan dana tahun 2005 dan 2006. Alasan klasik itu merupakan sebuah modus untuk tidak melanjutkan realisasi pembagian hasil laba perusahaan kepada masyarakat. Soal pertanggungjawaban yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh pengelola dana, seharusnya diserahkan untuk diusut secara hukum.
Humas PT.TPL kepada wartawan di Aek Nauli, baru-baru ini mengatakan setiap tahun PT.TPL mengalokasikan dana CD 1% dari total penjualan dan disalurkan kepada masyarakat melalui badan pengelola di setiap kabupaten. Dana CD PT.TPL di kabupaten Simalungun tahun 2005 berkisar Rp634.141.480 dan tahun 2006 berkisar Rp497.626.560, sudah diberikan, tapi belum dipertanggungjawabkan kepada PT.TPL oleh pengelola dana.
Pencairan Dana CD tahun 2007 berkisar Rp473.127.200 dan CD tahun 2008 Rp767.171.790 katanya akan direalisasikan, jika laporan pertanggungjawaban penggunaan dana sebelumnya, sudah dilakukan oleh pihak pengelola dana di Kabupaten Simalungun.
Dalam menjalankan operasional PT. TPL di sektor Aek Nauli, 80 % katanya mengandalkan sumber daya masyarakat melalui Mitra. Hingga saat ini PT. TPL sektor Aek Nauli memiliki 38 mitra, alat berat 360 unit dan tenaga kerja yang diserap 750 orang. Hanya 80 orang atau sekitar 20 % karyawan tetap yang dipekerjakan oleh PT. TPL.




Bantuan Itu Tidak Kooperatif
Inisiatif sepihak seputar pemberian bantuan CD/CSR yang diduga dimanipulasi oleh Management PT TPL di Sipangan Bolon. Salah seorang Ketua Fraksi di DPRD, Abu Sofian mengatakan, sebenarnya pemberian CSR yang dikeluarkan dari CD TPL apalagi dari jatah CD Kabupaten Simalungun kepada perorangan tanpa permohonan kelompok warga dan bukan kebutuhan bersama itu pantas dipertanyakan dan legalitasnya diragukan. Katanya, sebaiknya pihak PT TPL harus mendengar permohonan dan kebutuhan masyarakat yang mengharapkan bantuan, seperti permohonan air minum di Huta Paropo Nagori Sipangan Bolon.
Selain itu menurutnya, dalam waktu dekat pihaknya juga akan pertanyakan hal itu, karena pihak PT TPL dalam waktu dekat akan dipanggil sekaitan dengan temuan adanya Galian C yang diduga dilakukan sepihak oleh PT TPL di lokasi hutan TPL.
Ketua Fraksi lainnya, Rospita Sitorus dalam tanggapannya juga mengatakan hal senada. "Adapula CD yang didahulukan. Lantas sejumlah warga menunggu karena permohonan CD-nya diduga dipersulit atau diperlambat dengan alasan belum memenuhi standart dan akan diteliti tim independent. Kalau bisa didahulukan, kenapa tidak demikian dengan proposal warga lainnya? Lagian untuk perorangan tidak bisalah, tapi kalau berbentuk kelompok silahkan," ujarnya.
Anggota DPRD dari Parapat, Mansur Purba SE yang dikenal dekat dengan pihak PT TPL juga menyayangkan pemberian CD/CSR kepada perorangan yang dilakukan PT TPL. "Itukan bisa membuat kesenjangan sosial kepada pihak kelompok masyarakat yang lain. Apalagi sampai hari ini dari informasi, permohonan air minum untuk warga di sana tidak dipenuhi walau masyarakat sudah membuatkan proposalnya dan sudah melalui mekanisme yang ada. Menurut saya itu tidak boleh, dan jangan terulang lagi apalagi untuk Kecamatan Girsang Sipangan Bolon. Warga di sini semuanya sudah pintar-pintar dan jeli memilih-milah perkembangan informasi apalagi dengan pemberian CSR dari CD TPL tahun 2008 untuk yang dihunjuk sendiri oleh TPL," katanya.
Seperti sebelumnya, pihak PT TPL diduga salah gunakan wewenang hingga memberikan sekaligus mendahulukan CD/CSR jatah Simalungun diberikan kepada perorangan. Sementara warga Nagori Sipangan Bolon banyak juga memberi komntar miring sekaitan dengan cara PT TPL yang memberikan bantuan itu kepada mitranya sendiri dan untuk kebutuhan truk-turk yang mengangkut kayu ke PT TPL. "Kami harapkan mereka jangan aroganlah, dan kami harap agar semua pemberian CD/CSR di kecamatan ini diusut siapa tahu selama ini sudah banyak permainan, sebab kami bukan boneka mainan," ujar warga setempat

Terkait adanya dana CD (COMMUNITY DEVELOPMENT) yang disihkan dari laba perusahaan setiap tahunnya melalui Pemerintah Daerah setempat, tak tahu kemana. Disinyalir tahun 2008, dananya berkisar Rp1,3 millyar. Uang sebanyak ini seharusnya disalurkan membantu masyarakat dibidang pertanian, peternakan dan kesehatan. Seperti disebutkan warga bermarga Manurung sejak tahun 2008 dana CD  di Simalungun berasal dari PT TPL, tidak menyalurkan dana kepada   masyarakat. Sebelumnya dana tersebut dipergunakan untuk membantu masyarakat di Simalungun dengan menjanjikan mamberikan bibit coklat dan bibit ikan, dengan tujuan mensejahtrakan rakyat. Dana ini diduga tidak terealisasi sekitar  Rp700 juta dari Rp 1,3 millyar. “Menurut perjanjian kepada masyarakat akan di berikan melalui pemerintah di sekitar lahan PT TPL. Tapi sampai sekarang dananya tidak tahu kemana disalurkan,” tutur Manurung.

Informasi dihimpun The Local News, bahwa bantuan CD tahun 2007 untuk Kabupaten Simalungun diserahkan oleh Robert Sipayung selaku pengelola CD Simalungun mewakili kordinator Ir Mahrum Sipayung Sekda Simalungun. Hal ini dijelaskan Manager Humas PT TPL Sektor Aek Nauli pada waktu itu Rudi Panjaitan didampingi Staf Saut P Manalu dan Raja Pandolin Simamora kepada wartawan di Parapat.
Rudi Panjaitan mewakili pimpinan TPL mengatakan kerjasama perusahaan sangat diharapkan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi sosial masyarakat sesuai tuntutan paradigma baru TPL seperti salah satu bentuk yang dinamakan dana CD 1 persen dari hasil penjualan TPL dan bagi masyarakat.
                                                                                                                                       
 Namun, warga Nagori Sipangan Bolon Kecamatan  Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun, BM Sinaga kecewa dengan  Humas PT TPL Sektor Aek Nauli Bedman Ritonga. Pihak PT TPL dinilai telah memanipulasi bantuan dengan memberikan berupa satu set alat tambal terdiri dari compressor, mesin dompleng, martil dongkrak dengan beban 50 ton, tools box, kompor pemanas, selang angin gulungan dan kelengkapan dari Community Develovmen- Corporate Sosial Responsibility (CD-CSR), lalu.     Pemberian ini diduga hanya akal-akalan PT TPL saja dan demi kepentingan mereka sendiri. Salah seorang warga yang menerimanya M Sinaga, kebetulan menyediakan lahan untuk lokasi parkir truk sekaligus tempat petugas Tata Usaha Kayu (TUK) karyawan TPL. Pria ini mengatakan keluhannya kepada wartawan bahwa yang diajukan adalah penyediaan bak penampungan air minum di Huta 1 Dusun Paropo Sipangan Bolon. “Kok malah compresor dan peralatan tambal ban  PT TPL yang dibuat,” ungkap M.Sinaga keheranan di Kantor Pangulu Nagori Sipangan Bolon.
Bantuan CSR / CD itu diserahkan Humas PT TPL, Bedman Ritonga Sektor Aek Nauli yang diwakili stafnya, Saut Pahala Manalu, dari dana CD tahun 2008 di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon. " Dari mana orang tahu di sana ada tempel ban, soalnya, tidak kelihatan dari Jalan. Jadi kami yakin itu hanya akal- akalan saja,seakan  mengharapkan temple ban  itu" ujar TR Sinaga.

Saat dikonfirmasi Kepala Desa Nagori Sipangan Bolon, Bachtiar Sinaga  pada saat pemberian bantuan tersebut mengaku tidak mengetahuinya. “Kita justru menolaknya. Sebab yang diinginkan masyarakat adalah pengadaan bak penampungan air bersih di huta dusun Paropo,” ujarnya.                                          
Begitu juga dugaan terjadi di Kabupaten Toba Samosir. Informasinya, di salurkan melalui jaminan kesehatan TOBAMAS. Tetapi sering diperbincangkan terkadang dananya tidak jelas dikemanakan. Diduga pula bahwasanya ketika pihak PT TPL melakukan audit ditemukan ada permasalahan. Akhirnya berinisiatif tidak mengeluarkan dana CD tersebut. Disinyalir pemerintah daerah, PT TPL dan Organisasi yang mengelola tidak transparansi sebab 3 tahun berturut turut tidak pernah ada temu PERS soal realisasi penyaluran dana ini. Menurut PP NO 14 tahun 2009 mengamanahkan bahwa ketika ada unsur yang bertentangan dengan masyarakat jelas pelanggaran azas.

Camat Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Elisber Tambunan juga baru baru ini menilai pihak manajemen PT Toba Pulp Lestari tidak menunjukkan perhatian dan keberpihakannya kepada warga sekitar perusahaan.
“Mereka tidak kooperatif. Seharusnya pihak perusahaan lebih memprioritaskan tenaga kerja lokal yang ada di wilayah ini,” ujarnya di Porsea.
Menurut dia, tidak heran kalau perwakilan warga dari Desa Pangombusan, Banjarganjang, Tanggabatu I, Lumban Sitorus dan Desa Siruar melakukan aksi unjuk rasa ke kantor PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sosorladang, Sabtu (13/11) lalu.
Ia mengatakan, dari sembilan poin tuntutan warga yang disampaikan, semuanya menggambarkan ketidakpuasan atas kebijakan PT TPL.
“Wajar jika masyarakat menyampaikan aspirasi dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan yang diberlakukan perusahaan. Warga tidak setuju jika perusahaan hanya memakai tenaga kerja dari luar daerah, termasuk masalah konsumsi karyawan. Harusnya, mereka lebih mengutamakan pengusaha catering lokal,” katanya.
Sebenarnya, lanjut dia lagi, aksi unjuk rasa seperti itu tidak perlu terjadi jika pihak PT TPL merundingkannya dengan pihak-pihak terkait.
“Sebab, semua permasalahan bisa dicarikan solusinya,” ujar Camat yang baru bertugas sejak 27 Oktober 2010 itu.
Anggota DPRD Toba Samosir Monang Naipospos menambahkan, selama ini PT TPL cukup banyak menjanjikan hal yang tidak pernah mereka penuhi. Bahkan, kesepakatan dalam rapat dengar pendapat saat anggota dewan mengadakan reses tidak satu pun yang terlaksana. “Banyak tuntutan masyarakat yang tidak terpenuhi. Artinya, paradigma baru yang mereka dengungkan belum dijalankan,” ujar Monang.

Pengelolaan dana Community Development (CD) yang diterima oleh Pemkab Simalungun dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) sepertinya harus segera disikapi secara serius oleh Bupati. Selama ini pengelolaan dana yang diterima sebagai kompensasi atas pemanfaatan lahan hutan itu dikordinir oleh mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Mahrum Sipayung MSi. Setelah Mahrum Sipayung diberhentikan dari jabatannya, informasi mengenai pengelolaan dana ini dimungkinkan sulit dipantau. Bahkan Bupati Simalungun JR Saragih sendiri mengaku  belum tahu menahu perihal keberadaan dana CD itu.
Informasi didapatkan dari Kadis Kehutanan Jan Wanner Saragih ditemui di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu menolak memberikan keterangan secara transparan soal pengelolaan dana tersebut.  Dijelaskannya, dirinya baru dilantik sebagai Kadis jadi selama ini dinas yang dipimpinnya sama sekali tidak ada bersentuhan dengan dana CD dari TPL.
“Kami sama sekali tidak ada mengelola dana CD dari TPL. Yang mengelola itu adalah Mahrum Sipayung. Sebab dia yang menerima SK dari bupati (Zulkarnain Damanik) sebagai koordinator pengelola dana itu”, ujar Jan Wanner.
Lebih lanjut dijelaskan, mekanisme penyaluran dana CD dari perusahaan yang sebelumnya bernama Indorayon ini, pihak TPL telah membentuk sejenis lembaga konsultan sebagai lembaga mengatur besaran nilai dan menyerahkan dana tersebut kepada sejumlah daerah yang areal hutannya menjadi lokasi aktifitas TPL.
“Nah, dari pihak pemerintah sendiri, yang berhak menerima dan mengelola dana itu adalah orang yang mendapat Surat Keputusan (SK) dari bupati masing-masing yang mana untuk Kabupaten Simalungun adalah Mahrum Sipayung saat itu menjabat sebagai Sekda. Sampai saat ini pemenang SK tersebut masih Mahrum Sipayung. Jadi kami tidak mengetahui apa-apa terkait dana itu,” tambah Jan wanner.
Sementara itu, Bupati JR Saragih terlihat belum mengetahui sama sekali soal adanya dana dan pengelolaan dana CD itu.
Pada hari yang sama saat diwawancarai The Local News, Bupati Simalungun JR Saragih sempat mempertanyakan balik soal PT TPL. “TPL yang yang mana kalian maksud dan seperti apa sebenarnya dana CD itu,” tanya JR Saragih sembari menerima penjelasan dari wartawan.
“Saya belum mengetahuinya. Saya akan pelajari dulu. Soal itupun sama sekali belum ada laporan kepada saya. Makanya sekarang saya harus mempersiapkan dulu arahan kepada bawahan saya dengan mengangkat para pejabat eselon ini,” jelasnya.

Sedangkan, menurut  Komisaris Independent PT. TPL Lundu Panjaitan, SH  mengatakan, bahwa bantuan ini memang sudah menjadi hak Mayarakat,  sebab setiap hasil penjualan yang dilakukan PT. TPL, 1 persennya diberikan kepada masyarakat sesuai dengan Memory Of Understanding (MOU) PT. TPL dengan Pemerintah Kabupaten zona usahanya.

Pada ada  tahun 2007 PT TPL secara simbolis mengucurkan dana Community Development (CD) untuk 6 Kecamatan di Kabupaten Simalungun, masing-masing Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Pematang Sidamanik, Dolok Panribuan, Hatonduhan, Dolok Pardamean dan Kecamatan Sidamanik.
Bantuan yang dikucurkan untuk Kecamatan Girsang Sipanganbolon terdiri dari pengerasan jalan sepanjang 1500 M, di Sipangan Bolon dusun I berupa Bokasi Plus 20.000 pembangunan 1 unit tembok di Sibaganding. Di Kecamatan Pematang Sidamanik pengerasan jalan sepanjang 1500 M berbiaya Rp85.000.000 di Huta Gorak, Huta Manik Tomok. Kecamatan Dolok Panribuan mendapat pengerasan jalan 1000 M dan Pembangkit listrik tenaga mini hydro di Dolok Parmonangan Dusun Negeri Dolok serta pupuk bokasi plus 20.000. Kecamatan Hatonduhan mendapatkan bokasi plus 20.000.Kecamatan Dolok Pardamean mendapat bokasi plus 20.000 Kecamatan Sidamanik mendapat pupuk bokasi plus 20.000 dan Gorak 60.000 bokasi plus

Buka Galian C di HTI
Sejumlah pihak juga menemukan lokasi pertambangan Galian C di lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Toba Pulp Lestari (TPL) di tiga titik di wilayah Simalungun. Kondisi itu telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan cagar alam. Pemkab Simalungun juga diminta melakukan gugatan ganti rugi terhadap PT TPL yang diketahui tidak memiliki izin penambangan.
Anggota DPRD Simalungun Bernhard Damanik SE saat melakukan investigasi penemuan lokasi penambangan menerangkan, penambangan dilakukan PT TPL tanpa izin dan tidak pernah memberikan kontribusi kepada Pemkab Simalungun. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan Kadis Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (PPKAD) Resman Saragih menyebutkan, realisasi pendapatan dari sektor galian c per Oktober hanya Rp185 juta dari target Rp1 miliar. Dari pernyataan itu, jelas galian C milik PT TPL sama sekali tidak memberikan pemasukan bagi Pemkab Simalungun.
Kepala Kantor Penerbitan Izin Terpadu (Kakan PIT) mengaku tidak ada izin dari Pemkab Simalungun tentang Surat Izin Usaha Penambangan Daerah (SIUPD)  yang diberikan kepada PT TPL.
Menurut Bernhard, pernyataan telah menujukkan adanya penyimpangan pengelolaan hutan yang dilakukan PT TPL yang melakukan eksplorasi terhadap hutan lindung dan adanya penyimpangan dalam pengelolaan pendapatan.
Dia menegaskan, PT TPL telah melanggar Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 32 tahun 1991 tentang pertambangan bahan galian C.  Pemkab Simalungun dapat mengajukan gugatan dalam bentuk ganti rugi akibat kerusakan lingkungan hidup, cagar alam.
Stop Pembabatan Hutan Kemenyan//////////////////////////////

Belakangan ini Komisi B DPRD Sumut sepakat dengan PT TPL (Toba Pulp Lestari) Tbk untuk segera menyetop “pembabatan” hutan haminjon (hutan kemenyan) di areal HTI (Hutan Tanaman Industri) di Desa Sipituhuta dan Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbahas(Humbang Hasundutan), demi menjaga perekonomian masyarakat petani kemenyan.
Kesepakatan itu diungkapkan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan anggota Komisi B DPRD Sumut Layari Sinukaban SIP HM Nasir, Aduhot Simamora, Ir Washington Pane MM, Tohonan Silalahi SE, MM, Drs H Bustami HS kepada wartawan baru-baru ini di DPRD Sumut seusai meninjau hutan kemenyan di Humbahas bersama Dinas Kehutanan Sumut, masyarakat petani kemenyan dan PT TPL.
Dalam peninjauan lapangan yang diikuti segenap anggota Komisi B Ir Syahrial Harahap, Fahru Rozi SE, Tiaisah Ritonga, Hj Ida Budiningsih ini, ujar Layari, juga telah disepakati, bahwa PT TPL akan segera melakukan penanaman pohon kemenyan di atas ribuan hektar lahan HTI, guna membantu masyarakat petani kemenyan.
Kesepakatan tersebut diputuskan, kata Layari, setelah tim Komisi B turun langsung ke hutan kemenyan dan menerima aspirasi masyarakat agar hutan jangan lagi dibabat, karena tanpa ada pohon lain sebagai pelindung di sekitar pohon kemenyan dengan sendirinya akan mati. Sebab kemenyan tidak bisa hidup tanpa dilindungi.
“Masyarakat mengakui, hutan kemenyan yang tumbuh dan hidup secara sembarang itu merupakan mata pencaharian mereka sehari-hari. Apalagi saat ini harganya mencapai Rp150 ribu/Kg. Kalau pohon-pohon di sekitarnya dibabat, dengan sendirinya kemenyan akan mati,” ujar Sekretaris Komisi B Aduhot Simamora yang juga putra Dolok Sanggul itu.
Sementara itu, setelah selesai meninjau lokasi areal hutan kemenyan, tim Komisi B DPRD Sumut bertemu dengan manajemen PT TPL di Sosor Ladang Porsea Ir Juanda Panjaitan mewakili direksi beserta sejumlah staf menegaskan, bahwa PT TPL tidak pernah melakukan pembalakan hutan kemenyan seperti yang dituduhkan masyarakat.
Hal ini dibuktikan, jelas Juanda, berdasarkan RKT (rencana kerja tahunan) PT TPL, lahan HTI yang luasnya 10.000 hektar lahan HTI di Desa Sipituhuta dan Pandumaan, hanya 4000 Ha yang diambil kayunya, sementara 6000 hektar di antaranya tidak jadi ditebang untuk melindungi hutan kemenyan.
“Dari fakta-fakta di lapangan dapat kita lihat, PT TPL melakukan tebang pilih dan tetap tidak menebang pohon kemenyan,” ujar Juanda sembari menambahkan, untuk mendukung perekonomian masyarakat, PT TPL akan melakukan penanaman pohon kemenyan di atas ribuan hektar lahan HTI dan rencana itu juga telah disampaikan ke Dishut Sumut maupun Menhut RI di Jakarta.
Menurut Juanda, PT TPL tetap bekerja berdasarkan izin HPHTI (Hak Pengusaha Hutan Tanaman Industri) atau IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman ) sesuai SK Menhut No 493/ Kpts-II/1992 pada 01 Juni 1992 dan SK Menhut No 351/Menhut-II/2004 pada 28 September 2004.
“Jadi PT TPL sangat sepakat dengan masyarakat maupun DPRD Sumut agar hutan kemenyen dilestarikan, sebab dari awal juga kita tidak pernah melakukan penebangan. Bahkan kita telah membuat pembibitan pohon kemenyan yang dalam waktu dekat akan menanaminya di atas ribuan hektar lahan HTI, sebagai komitmen kita terhadap masyarakat,” ujar Juanda.
Sementara itu, Kadis Kehutanan Sumut yang diwakili Kasubis Reboisasi Ir R Hutauruk menambahkan, berdasarkan hasil pengecekan di lapangan, PT TPL bekerja tetap berdasarkan aturan main sesuai dengan Peta Kehutanan, bahkan tidak menebang hutan kemenyan. Jika, PT TPL melakukan pelanggaran, Dishut tidak akan segan-segan menghentikan operasionalnya di lahan HTI, katanya.
Berlindung Dibalik Konsesi
Ada pernyataan dari Direksi PT.TPL kepada wartawan seperti ini ;
Direktur PT TPL Juanda Panjaitan mengatakan, aktivitas TPL sepenuhnya berdasarkan areal konsesi yang diberikan pemerintah. "TPL ini enggak punya tanah, yang punya tanah itu negara. Pemerintah memberikannya kepada kami dalam bentuk konsesi, jadi kalau mau komplain, mestinya bukan ke TPL, tetapi ke pemerintah," kata Juanda.
Pemerintah cq.Departemen Kehutan memang benar memberikan konsesi kepada perusahaan dan didalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan selalu ada pasal-pasal yang berisi kewajiban dari pihak pemegang konsesi yaitu :
1. Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. Apabila di dalam areal HTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja. (lihat contoh SK PT. SUMATERA SYLVA LESTARI di Sumut).
Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah HTI PT.TPL telah melaksanakan kewajibannya sesuai SK yg diterima yaitu melakukan penataan batas. Jika benar melakukan penataan batas maka mekanismenya melibatkan masyarakat sekitar kawasan dan meminta persetujuan masyarakat tersebut. Pada saat penataan batas dilakukan tentu akan diperoleh informasi dan fakta bahwa terdapat tanah adat masyarakat parlombuan yg merupakan bekas perkampungan, tegalan yang telah diduduki dan digarap masyarakat sejak zaman Belanda. PT.TPL tidak perlu berdalih agar masyarakat complain kepada pemerintah karena didalam SK Konsesi tersebut terdapat pasal yang menyebutkan agar dikeluarkan tanah milik masyarakat dari areal kerjanya.
Yang pasti PT.TPL belum pernah melaksanakan penataan batas, hal ini pernah dikonfirmasi wartawan waktu ada pertemuan di Kantor Bupati Taput – Tarutung tahun 2009, dalam kesempatan tersebut Kepala Dinas Kehutanan menjawab PT.TPL baru akan mau melaksanakan tata batas.
Sumber masalah ini diduga ada di TPL, jadi bukan di pemerintah, bahkan pihak PT.TPL pernah sesumbar bahwa jika pemerintah menyatakan bahwa tanah tersebut milik masyarakat, TPL akan memberikannya termasuk tanaman Ekaliptus yang ada di atasnya.
Memiliki izin konsesi dari pemerintah bukan jaminan perusahaan dapat mengabaikan hak-hak masyarakat. Tidak satu meterpun pihak perusahaan boleh menanam tanpa seijin dan membayar semacam konpensasi kepada masyarakat. Ini suatu bukti bahwa ijin konsesi tidak menjamin bahwa perusahaan dapat sewenang-wenang mengabaikan hak-hak masyarakat.

Sejak berdirinya PT TPL, sudah meraih keuntungan yang sangat besar. Keuntungan industri pulp Porsea, meraih laba sebesar USD 11,8 juta dolar dari hasil penjualan pulp senilai USD 137,6 juta pada tahun buku 2007. Dana CD tahunan mencapai Rp12,5 miliar. Mengalami defisit per tahun 2006 sebesar USD 573.349 menjadi USD 561.531. Komponen defisit meliputi kerugian selama tidak beroperasi antara Oktober tahun 1998 hingga Maret 2003 plus ketekoran operasional 2004 hingga 2006. Laporan tahun 2007 merinci, TobaPulp meraih USD 137,6 juta dari penjualan 172.710 ton pulp. Nilai itu naik 49,4% dari penjualan 2006 sebesar USD91,2 juta (147.276 ton). Dari penjualan itulah perusahaan memperoleh laba USD11,8 juta, kebalikan dari kondisi tiga tahun berturut-turut sebelumnya yang terus merugi dan terakhir kerugian 2006 sebesar USD10 juta. Kenaikan angka penjualan itu terutama disebabkan keberhasilan TobaPulp memproduksi pulp kualitas A-plus pada saat harga pulp dunia mulai membaik. A-plus adalah kualitas diantara paper pulp (BKP – bleach kraft pulp) untuk bahan baku kertas dan dissolving pulp (DP) bahan baku tekstil. TobaPulp juga menghasilkan BKP dan DP.

Dana CD diperuntukkan bagi Tobasa selaku tempat berdirinya pabrik. Setengah lagi dibagi habis oleh delapan kabupaten lokasi HTI dan Tobasa termasuk di dalamnya, yakni  Aeknauli (Simalungun), Habinsaran (Tobasa), Aekraja (Tapanuli Utara), Tele (Humbang Hasundutan, Samosir, Pakpak Bharat, Dairi dan Sidimpuan (Tapanuli Selatan).
Besar-kecil bagian masing-masing kabupaten didasarkan pada tiga parameter, meliputi luas lahan HTI efektif, jumlah produksi kayu tahunan, serta panjang jalan (negara, kabupaten) yang dilintasi angkutan bahan baku dari HTI ke pabrik di Porsea.

Mekanisme distribusi dana CD itu ditetapkan dan diawasi sepenuhnya oleh Tim Independen (TI) pimpinan ekonom DR Polin LR Pospos.
Proses distribusi dana diawali dengan pembuatan proposal program senilai alokasi dana tersedia oleh masyarakat sekitar wilayah kerja TobaPulp. Proposal itu mesti disetujui Bupati sebelum diteruskan ke TI untuk verifikasi dan persetujuan akhir. Persetujuan TI berlanjut dengan permintaan resmi ke TobaPulp untuk men-transfer dana ke account pelaksana.
Dana CD baru dapat dikucurkan apabila pelaksanaan CD tahun sebelumnya sudah dilaporkan dan disetujui TI. Tidak ada pengucuran dana CD tanpa proposal, dan tidak ada distribusi dana CD baru sebelum TI menyetujui laporan pelaksanaan CD tahun sebelumnya.
Pelaksana dan penanggungjawab CD ditunjuk oleh Bupati setempat kecuali untuk Tobasa ditangani Yayasan Pembangunan Masyarakat Toba Mas bentukan masyarakat.
         Selama ini dana CD dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan: pertanian (pengadaan pupuk, bibit, anti-hama, traktor), peternakan (pengadaan sapi, babi), perkebunan (bibit kopi), perikanan (bibit, kolam), kehutanan (bibit ingul), pertukangan (alat pertanian), pendidikan (beasiswa, honor guru, alat-alat tulis, meja-kursi), sosial keagamaan (gereja), olahraga (lapangan, alat olahraga), sarana lain (komputer, mesin tik). Dana CD 1% itu merupakan komitmen TobaPulp ketika fasilitas pabrik pulp-nya dioperasikan kembali, Maret 2003. Artinya, selama TobaPulp beroperasi dana CD tetap dianggarkan tanpa dipengaruhi untung atau rugi.

Ancaman Bagi Kelangsungan Hidup

Terkait konservasi keanekaragaman Hayati atau biodiversity yang merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis dan tingkatan genetika. Konservsi keanekaragamanan hayati ini pun tampak bahwa PT TPL sudah membuat program kepunahan ekositim spesies tanaman dan binatang yang selama ini hidup dilahannya. Pada dasarnya keragaman ekosistem di alam terbagi dalam beberapa tipe, yaitu ekosistem padang rumput, ekosistem hutan, ekosistem lahan basah dan ekosistem laut. Kanekaragaman tipe-tipe ekosistem tersebut pada umumnya dikenali dari ciri-ciri komunitasnya yang paling menonjol, dimana untuk ekosistem daratan digunakan ciri komunitas tumbuhan atau vegetasinya karena wujud vegetasi merupakan pencerminan fisiognomi atau penampakan luar interaksi antara tumbuhan, hewan dan lingkungannya. Dalam menilai potensi keanekaragaman hayati , seringkali yang lebih banyak menjadi pusat perhatian adalah keanekaragaman jenis, karena paling mudah teramati. Jika diamati bahwa keanekaragaman jenis tanaman dan binatang dilahan hutan indistri PT TPL yang menanami kayu ekalyptus, sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya pemandangan kayu ekalyptus yang dikenal sangat rakus menyerap air bawah tanah dan air permukaan. 

Keragaman genetik yang merupakan penyusunan jenis-jenis spesies sudah sulit ditemukan. Sekitar 10 % dari semua jenis makhluk hidup yang saat ini menghuni bumi terkandung pada kawasan negara Indonesia secara rinci dapat diuraikan bahwa Indonesia dengan 17.058 pulau-pulaunya mengandung 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga di dunia, 12 % dari total mamalia di dunia, 16 % dari total reptil dan ampibia di dunia, 17 % dari total jenis burung di dunia.

Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1991) menuliskan bahwa hutan tropika Indonesia merupakan sumber terbesar keanekaragaman jenis –jenis palm, mengandung lebih dari 400 species meranti-merantian dari Famili Dipterocarpaceae (yang merupakan jenis kayu pertukangan paling komersil di Asia Tenggara); dan diperkirakan menyimpan 25.000 species tumbuhan berbunga. Tingkatan Indonesia untuk keragaman jenis mamalia adalah tertinggi di dunia ( 515 species, di antaranya 36 species endemis ). Kemudian, terkaya untuk keragaman jenis kupu-kupu ekor walet dari famili Papilionidae (121 species, 44 % endemis). Lalu, terbesar ketiga untuk keragaman jenis reptilia (lebih dari 600 species). Terbesar keempat untuk jenis burung (1519 species, 28 % endemis) dan terbesar kelima untuk jenis amphibi (270 
species) serta peringkat ke tujuh di dunia untuk tumbuhan berbunga. Selama ini pun lebih dari 6000 species tanaman dan binatang telah dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehati-hari masyarakat. Tetapi, fakta jumlah spesies itu akan punah total dengan merubah fungsi hutan alam menjadi hutan industri seperti yang dikelola pihak PT TPL. 

Sedangkan keragaman hayati selama ini hidup di lahan hutan PT TPL, dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu keragaman Genetik yaitu berbagai variasi aspek biokimia, struktur dan sifat organisme yang diturunkan secara fisik dari induknya (orang tuanya). Genetik ini dibentuk dari AND (Asam Deoksiribo Nukleat) yang berbentuk molekul-molekul yang terdapat pada hampir semua sel. Keragaman genetik ini sudah tak lagi hidup leluasa di hutan PT TPL. Kemudian, keragaman Spesies yang sudah punah adalah kelompok organisme yang tidak lagi mampu saling berbiak satu dengan yang lain secara bebas, dan menghasilkan keturunan. Keragaman Ekosistem yang sudah punah lainnya adalah suatu unit ekologis yang tidak lagi mempunyai komponen biotik dan abiotik yang tadinya saling berinteraksi dan antara komponen-komponen tersebut terjadi pengambilan dan perpindahan energi, daur materi dan produktivitas.

Sedangkan manfaat keragaman hayati merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain. Juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan tehnologi mengembangkan sosial budaya umat manusia serta membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya. 
Konservasi keanekaragaman hayati sangat diperlukan masyarakat karena pemanfaatan sumber daya hayati untuk berbagai keperluan yang tidak seimbang akan menyebabkan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna. Karena kehilangan habitatnya akibat kerusakan ekosisitem dan menipisnya plasma nutfah yang dilakukan PT TPL. Seperti kondisi sekarang yakni hadirnya PT TPL telah merubah keyataan ekosistim hutan memaksa monokulturalisasi jenis binatang dan tumbuhan. Hal ini harus dicegah agar kekayaan hayati di lahan PT TPL dapat menopang kelangsungan kehidupan manusia yang memiliki mata rantai dengan tumbuhan dan binatang.

Di Indonesia sendiri menawarkan berbagai sumberdaya genetika tanaman dan binatang yang sangat berharga guna pemanfaatan bagi kehidupan manusia saat ini atau di masa mendatang. Sedikitnya 6.000 spesies flora dan fauna asli dimanfaatkan sehari-hari oleh orang Indonesia untuk makanan, obat, pewarna, dan sebagainya. Tetapi itu akan terancan sulit diperoleh bila operasional PT TPL masih berlangsung hingga generasi mendatang. Seperti akibat merubah lahan hutan alam menjadi lahan hutan industri. Keragaman materi genetik dilakukan PT TPL memungkinkan terjadi seleksi alam kehidupan dimasa mendatang. Umumnya, kian besar populasi binatang dan tumbuhan penghuni hutan kian besar pulalah keanekaragaman genetik, sehingga makin kecil kemungkinan punahnya kelangsungan hidup manusia.

Konservasi Tingkat Spesies ini pun sangat mengherankan. Para cendikiawan justru lebih tahu berapa banyak bintang di galaksi daripada jumlah spesies makhluk hidup di bumi. Hingga kini baru 1,7 juata spesies teridentifikasi, dari jumlah seluruh spesies yang diperkirakan 5-100 juta. Kelompok makhluk hidup yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah serangga dan mikroorganisme. Sekalipun demikian masih saja ada anggapan, bahwa hanya organisme besar seperti tanaman berbunga, 
mamalia dan vertebrata lain, yang mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung. Padahal mikroorganisme, termasuk alga, bakteri, jamur, protozoa dan virus, sangat vital perannya bagi kehidupan di bumi. Contohnya, tak akan ada terumbu karang jika tak ada alga. Terganggunya keseimbangan mikroorganisme tanah, dapat menyebabkan kualitas kehidupan merosot, hingga mengakibatkan perubahan besar pada ekosistem. Suatu wilayah yang memiliki banyak spesies satwa dan tumbuhan, keragaman spesiesnya lebih besar, dibandingkan wilayah yang hanya memiliki sedikit spesies yang menonjol seperti spesies dilahan hutan PT TPL.

Sudah pasti lahan hutan TPL ibarat sebuah lahan hutan dengan 2 spesies burung tanpa spesies kadal, ular, dan binatang hutan lainnya. Padahal Indonesia sangat kaya spesies. Walau luasnya Cuma 1,3% luas daratan dunia, Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah spesies di dunia. Paling tidak negara kita memiliki 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies amphibi dan reptilia, 17% spesies burung, dan 37% spesies ikan dunia. Kekayaan dunia serangga kita terwakili oleh 666 spesies capung dan 122 spesies kupu-kupu. Spesies didefinisikan secara biologis dan morfologis. Secara biologis, spesies adalah Sekelompok individu yang berpotensi untuk ber-reproduksi diantara mereka, dan tidak mampu bersekelompok individu reproduksi dengan kelompok lain. Sedangkan secara morfologis, spesies adalah yang mempunyai karakter morfologi, fisiologi atau biokimia berbeda dengan kelompok lain.

Ancaman bagi spesies adalah kepunahan. Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satu pun individu dari spesies itu yang masih hidup. Terdapat berbagai tingkatan kepunahan, yaitu  Punah dalam skala global yakni jika beberapa individu hanya dijumpai di dalam kurungan atau pada situasi yang diatur oleh manusia. Punah dalam skala lokal (extirpated),  jika tidak ditemukan lagi di tempat mereka dulu berada. Punah secara ekologi, jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas makin terabaikan. Kepunahan yang terutang (extinction debt), yakni hilangnya spesies di masa depan akibat kegiatan manusia pada saat ini seperti lahan hutan industri PT TPL.  Diperkirakan pada masa lampau telah terjadi 5 kali episode kepunahan massal. Kepunahan massal terbesar diperkirakan terjadi pada akhir jaman permian, 250 juta tahun lalu. Potensi kepunahan ini akan terulang kembali dengan berubahnya fungsi hutan alam menjadi hutan produksi yang hanya memiliki satu jenis kayu.

Kepunahan sesungguhnya merupakan fenomena alamiah, namun mengapa hilangnya spesies menjadi masalah? Pengurangan atau penambahan spesies secara efektif ditentukan oleh laju kepunahan dan laju spesiasi. Spesiasi adalah proses yang lambat. Selama laju spesiasi sama atau leih cepat daripada laju kepunahan maka keanekaragaman hayati akan tetap konstan atau bertambah. Pada periode geologi yang lalu hilangnya spesies diimbangi atau dilampaui oleh evolusi dan pembentukan spesies baru. Saat ini tingkat kepunahan mencapai 100-1000 kali tingkat. Itu, disebabkan oleh aktivitas manusia. Kepunahan saat ini disebut kepunahan keenam. Secara konseptual, biologis, dan hukum, spesies merupakan fokus utama dalam konservasi. Sebagian besar masyarakat telah memahami konsepsi spesies dan mengetahui bahwa dunia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi tetapi sebagian di antaranya sedang menuju kepunahan.

Ahli biologi telah memfokuskan pada spesies selama berabad abad dan telah mengembangkan sistem penamaan, pengkatalogan, dan perbandingan antar spesies. Berbagai upaya konservasi telah dilakukan, mulai dari pendanaan sampai program recovery difokuskan pada spesies. Peraturan perundangan tentang konservasi juga memfokuskan pada spesies. Misalnya: US Endangered Species Act, Convention on International Trade in Endangered Species, Perlindungan Floran dan Fauna di Indonesia. Faktor-faktor yang mendorong semakin meningkatnya kepunahan antara lain : Kerusakan hutan tropis, Kehilangan berbagai spesies, Kerusakan habitat, fragmentasi habitat, Kerusakan ekosistem, Polusi, Perubahan iklim global, Perburuan, eksploitasi berlebihan, Spesies asing/pengganggu, dan Penyakit. Masing-masing faktor saling mempengaruhi satu sama lain. Hilangnya habitat ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati adalah penghancuran oleh manusia.

Hilangnya hutan tropis sering disebabkan perluasan lahan industri, pertanian dan pemungutan hasil hutan secara besar-besaran. Sekitar 17 juta hektar hutan hujan tropis dibabat habis tiap tahun, sehingga sekitar 5-10 % species dari hutan hujan tropis akan punah dalam 30 tahun mendatang. Di Simalungun, kedatangan tanaman ekalyptus secara perlahan dan sistematis menggusur ekosistim binatang penghuni hutan. Kini kita sulit menemukan binatang yang dilindungi di lahan hutan itu. Eksploitasi berlebihan sumberdaya hutan, ekploitasi satwa liar merupakan ancaman pasti bagi kelangsungan hidup manusia diskitarnya. Banyak kepunahan disebabkan konversi lahan hutan alam menjadi hutan tanaman industri, dengan perburuan untuk mendapatkan daging maupun kulit unik dari binatang. Sehingga, perubahan iklim global di masa mendatang merupakan efek samping perubahan fungsi hutan alam yang membuat pemanasan global, mengancam keragaman hayati, dan species flora dan fauna tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.

Monokulturisasi kehutanan karena memprioritaskan ekonomi terbukti memberi andil besar bagi hilangnya keragaman hayati. Pertanian dan kehutanan modern cenderung monokultur, menggunakan pupuk dan pestisida untuk mendapat hasil sebesar-besarnya. Begitu pulalah Hutan tanaman industri (HTI) memprioritaskan tanaman-tanaman eksotik (dari luar) yang dapat dipanen dengan cepat, seperti acaccia mangium, eucalyptus sp, yang sangat ganas menggusur jenis lokal dan mengubah ekosistem hutan secara drastis. Berbagai uraian tentang keanekaragaman hayati, mulai dari berbagai kriteria keragaman hayati, species terancam punah, beserta kategorisasinya, serta berbagai ancaman yang dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, melengkapi pemahaman mengenai pentingnya melakukan kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati bagi kepentingan umat manusia dan keselamatan bumi. Kerusakan hutan tropis dan kehilangan berbagai spesies akibat merusakan habitat, saling berkaitan antara faktor-faktor penyebab kepunahan. Kunci menyelamatkan spesies adalah melindungi populasi yang ada bukan merusak.

Katagori Extinct (Punah), yakni apabila 50 tahun terakhir tidak ada lagi data yang menunjukkan secara jelas keberadaan spesies tanaman dan binatang (kriteria menurut CITES). Spesies yang berada dalam bahaya kepunahan tidak mungkin bertahan lestari tanpa menghentikan sumber-sumber penyebab kepunahannya. Menurut Daftar Merah, terdapat 4.452 spesies satwa yang terancam punah. Kelas satwa dengan jumlah spesies terbesar yang terancam adalah serangga (1.083 spesies) dan burung (1.029), cacing anelida (139), krustasea (126), dan amfibia (57). Demikian juga dengan tumbuhan, kondisinya tak kalah memprihatinkan. Tumbuhan yang terancam di Asia mencapai 6.608 spesies, eropa tanpa Jerman 2.677, Amerika Tengah dan utara 5.747, Amerika Selatan 2.061, Oceania 2.673 dan Afrika 3.308. Jumlah yang sebenarnya di lapangan bahkan bisa lebih banyak dari itu. Setiap spesies di dalam Daftar Merah itu dikategorikan terancam dengan melihat berbagai faktor yang mempengaruhinya, sebagaimana pengaruh PT TPL  termasuk katagori lahan hutan monokultur penyebab populasi spesies, terus menurun menuju titik kritis. Habitatnya menyusut drastis hingga membahayakan kelestariannya dan kelangsungan hidup manusia dalam kaitan mata rantai kehidupan antara manusia, binatang dan tumbuhan.
Pernyataan Sikap
Sejak berdirinya PT Inti Indorayon Utama yang sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) di bumi Tapanuli dan Simalungun telah menimbulkan berbagai dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Setiap saat warga Porsea dan sekitarnya harus mencium udara kotor dan bau busuk yang sangat menyengat dari limbah pabrik kertas ini. Menurut pengalaman dan pengakuan masyarakat, pencemaran dan pengrusakan lingkungan (air, udara, tanah, dan hutan) mengakibatkan kesehatan terganggu (timbul penyakit gatal-gatal dan sesak nafas) dan perekonomian rakyat semakin menurun karena hasil panen semakin menurun, banyaknya hama dan penyakit tanaman, matinya ternak, dan sebagainya.

Alih fungsi lahan dan perampasan tanah-tanah rakyat (tanah/hutan adat) atas dalih program reboisasi, penghijauan, PIR, dan HTR yang prosesnya dilakukan dengan manipulasi adat, namun selanjutnya dijadikan areal konsesi HPH/TI untuk pemenuhan bahan baku (kayu). Pihak TPL, telah mengakibatkan rakyat (petani dan masyarakat adat) kehilangan lahan-lahan untuk pengembangan pertanian yang tentunya akan berdampak terhadap ketahanan pangan yang selanjutnya akan mengakibatkan krisis pangan. Banyak petani kehilangan lapangan pekerjaan dan akhirnya terpaksa menjadi buruh (Buruh Harian Lepas) di areal HPH/TI TPL, dengan kata lain menjadi ”buruh di tanah sendiri”. Kondisi hutan di Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Dairi, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, dan Humbang Hasundutan sudah sangat kritis.

Penebangan dan pengrusakan hutan (termasuk hutan lindung) dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor kelestarian dan keberlanjutan sangat merusak ekosistem dan mengakibatkan punahnya species tertentu dan tanaman endemik. Juga telah telah menimbulkan bencana longsor dan banjir yang mengakibatkan kerugian materi dan korban jiwa di pihak masyarakat. Bahkan penebangan hutan di daerah hulu sangat berdampak terhadap keberlangsungan danau Toba, sebagai salah satu objek/tujuan parawisata di daerah ini. Dalam kunjungan rombongan Menteri, termasuk Menteri Kehutanan, ke Tapanuli Utara pada bulan Juli 2010 yang lalu, mengawali kata sambutannya mengatakan bahwa kondisi hutan di Tapanuli sudah rusak bahkan hancur. Selanjutnya menanggapi tentang penebangan dan pemberian ijin terhadap TPL, mengatakan: ”Hutan yang mana lagi yang mau ditebang....semua sudah habis, tidak ada lagi yang bisa ditebang....” Tentunya dampak dari penebangan dan pengrusakan hutan ini sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim (pemanasan global) yang saat ini menjadi isu dunia, dan Indonesia turut sebagai salah satu negara yang konsern tentang isu ini.

Bahkan sudah membangun kesepakatan dan kerjasama internasional untuk mensukseskan konsep REDD+. Tentunya kebijakan/rencana strategis moratorium penebangan hutan berlaku juga untuk pihak TPL. Ketika rakyat melakukan aksi dan protes atas perampasan tanah/hutan, menuntut ganti rugi atas bencana lingkungan, menuntut lingkungan yang bersih dan sehat, dan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan pihak TPL, justru terjadi kriminalisasi terhadap rakyat (petani). Dalam 2 (dua) tahun terakhir ini beberapa pelanggaran hak-hak ekosob seperti bencana lingkungan dan sengketa/konflik antara masyarakat dengan pihak TPL antara lain: 1. Perampasan dan penebangan areal Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan) sekitar 4100 Ha, milik 700 KK masyarakat adat desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Konflik ini terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, dimana pihak TPL bersama para kontraktornya melakukan penebangan kayu (bukan hanya kayu alam tetapi juga pohon kemenyan), dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman eucalyptus. Dalam waktu 1 bulan, TPL sudah menebang sekitar 250 Ha. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan menggunakan limbah padat TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Dan ketika penggunaan limbah padat ini dipertanyakan kepada pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan, mereka mengatakan tidak tahu menahu tentang hal ini.

2. Sengketa pertanahan antara masyarakat adat keturunan Ama Raja Medang Simamora yang tergabung dalam Parsadaan pejuang Tano Adat Sitakkubak (sudah 11 generasi) desa Aek Lung, kecamatan Doloksanggul, kabupaten Humbang Hasundutan dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Sengketa ini timbul dimana pada tahun 1975 tanah adat yang bernama Sitakkubak dijadikan areal penghijauan/rehabilitasi daerah aliran sungai dan tanah kritis untuk waktu 30 tahun, dengan perjanjian bahwa tanah tetap menjadi milik masyarakat. Sekitar tahun 1994, tanaman pinus hasil penghijauan tersebut dipanen/ditebang. Namun pada tahun 1996 areal ini langsung ditanami oleh PT. Inti Indorayon Utama (sebelum berganti nama menjadi PT. TPL, Tbk) dengan eukalyptus tanpa persetujuan keturunan Ama Raja Medang Simamora, dengan alasan bahwa tanah tersebut sudah menjadi areal HTI PT.TPL. 3. Kasus tanah adat milik turunan dari Op.Pagar Batu Pardede dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak (sekitar 120 KK atau sekitar 500 jiwa), yang tinggal di huta (perkampungan) Parlombuan, desa Tapian Nauli III, kecamatan Sipahutar, kabupaten Tapanuli Utara, dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk. Sengketa ini berawal dari pembebasan tanah-tanah adat seluas 3445 ha, yang pada tahun 1975 diminta oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan Tapanuli Utara/Sumatera Utara untuk perluasan hutan dan mensukseskan program reboisasi. Namun pada akhirnya diketahui bahwa tanah adat tersebut sudah menjadi areal HPH/TI PT Toba Pulp Lestari. 4. Sengketa antara masyarakat Bulu Silape dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL).

Dalam hal ini masyarakat menuntut ganti rugi sehubungan dengan bencana longsor akibat pengerukan dinding bukit untuk pembukaan jalan truk pengangkut kayu dari sektor Habinsaran oleh Indorayon yang sekarang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL), dimana pada bencana longsor tersebut (1989), menimbulkan korban nyawa (13 orang meninggal) maupun harta benda (areal persawahan, ladang, rumah, dan ternak) tertimbun longsor. Selama 21 tahun ini, warga tidak dapat lagi mengolah dan mendapat hasil apa pun dari areal persawahan yang sudah tertimbun longsor (tanah dan batu). Bukan itu saja, setiap hari warga harus menghirup debu, suara bising, dan getaran akibat lalu-lalangnya truk-truk pengangkut kayu TPL yang sarat muatan kayu.

5. Bencana banjir dan longsor di Samosir, 29 April 2010, yang menimpa 2 desa atau perkampungan penduduk yang berada di bawah pebukitan yakni: desa Sabulan dan Buntu Mauli, kecamatan Sitio-tio, kabupaten Samosir. Bencana ini menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi. Sejak April 2008, PT. TPL, Tbk menggunduli Hutan Lindung Register 41 Hutagalung Blok Sitonggi-tonggi. Dalam tempo ±3 tahun, berkisar ¾ dariluasan Hutan Lindung Register 41 Hutagalung Blok Sitonggi-tonggi atau sekitar 26.752 Ha sudah habis digunduli oleh PT.Toba Pulp Lestari.Hutan Lindung Register 41 ini berada di perbukitan dan sekitar 10 km dibawahnya tersebar pemukiman penduduk khususnya di 3 kecamatan lumbung pangan Samosir yaitu Kecamatan Sitio-tio, Harian dan Sianjur Mulamula. Selama ini masyarakat sudah sangat khawatir dan resah akan adanya bahaya longsor, banjir, dan kekeringan. Dan hal ini sudah berkali-kali mereka sampaikan ke Pemkab dengan tuntutan agar TPL menghentikan penebangan dan melakukan penyelamatan Hutan Lindung Register 41 Hutagalung Blok Sitonggi-tonggi ini.

Selain itu, semenjak TPL, melakukan aktifitas penggundulan hutan tersebut maka banyak bermunculan kongsi-kongsi TPL yakni dengan bertambahnya pabrik sawmill di sekitar Hutagalung yang membeli kayu log, dari TPL. 6. Konflik masyarakat di Kab. Tapsel dan Kab Paluta dengan TPL. Pihak TPL klaim lahan dengan dasar SK Menhut tapi tata batas tidak jelas. Ada juga kasus pembakaran hutan Pinus di kecamatan Angkola Timur di pinggir kebun karet rakyat sehingga kebun karet rakyat ikut hangus. TPL di Kab Tapsel tidak jelas menetapkan batas areal/enclave dengan kebun masyarakat, sehingga masyarakat petani di desa-desa seperti Pargarutan Julu, Maragordong, Tabusira, Garonggang terjepit karena areal TPL sudah sampai ke pinggir desa Berdasarkan fakta-fakta di atas maka sehubungan dengan akan dilaksanakannya kegiatan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produk Lestari pada unit manajemen IPHHK HTI PT Toba Pulp Lestari,Tbk (TPL) untuk lokasi ijin di Kabupaten Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Dairi, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, dan Humbang Hasundutan, dengan ini masyarakat menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut: 1. Sucofindo International Certification Services sebagai lembaga yang melakukan kegiatan sertifikasi PHPL untuk unit manajemen IPHHK HTI PT Toba Pulp Lestari, Tbk agar mempertimbangkan pemberian sertifikasi atau rekomendasi lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di 11 (sebelas) kabupaten di atas kepada PT Toba Pulp Lestari, Tbk; 2. Bahwa tanah-tanah/hutan adat termasuk hutan lindung, selama ini sudah masuk dalam areal konsesi TPL, sehingga menjadi penting direkomendasikan agar areal tersebut dikeluarkan dari areal HTI TP; 3. Meminta kepada Menteri Kehutanan dan instansi lainnya mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah yang berkaitan dengan penerbitan ijin untuk areal konsesi TPL, supaya meninjau ulang pemberian rekomendasi dan ijin-ijin tersebut dengan mengeluarkan tanah-tanah/hutan adat, dan hutan lindung dari konsesi TPL, khususnya yang saat ini sedang berkonflik dengan pihak TPL, dan selanjutnya mengembalikan tanah-tanah/hutan adat tersebut kepada masyarakat yang saat ini sedang berjuang mempertahankannya dan menuntut pengembaliannya; 4. Secara khusus areal hutan kemenyan sebagai tanaman endemik yang harus dilindungi, supaya dikeluarkan dari konsesi TPL dan status hutan negara lainnya, dan mengembalikan tanah/hutan adat tersebut kepada masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, kecamatan Pollung, kabupaten Humbang Hasundutan; 5. Mendesak dan memaksa pihak TPL untuk segera menyelesaikan konflik dengan membayar tuntutan ganti rugi kepada masyarakat korban bencana, dan mengembalikan tanah-tanah/hutan adat milik masyarakat; 6. Meminta kepada pihak TPL agar tidak memasukkan tanah-tanah/hutan adat, khususnya yang saat ini sedang berkonflik, ke dalam areal Konsesinya. 7. Sebaiknya sebelum memberikan sertifikasi kepada TPL, supaya Sucofindo mengajak NGO/LSM di Sumatera Utara dan Perguruan Tinggi untuk melakukan penelitian tentang kinerja PT TPL supaya objektif. 8. Sucofindo harus menanya pendapat rakyat terlebih dahulu supaya sucofindo jangan terkesan hanya memberi setifikat tanpa bukti-bukti yang valid dan reliable secara akademis. 9. NGO sangat tahu strategi sertifikasi ini dilakukan/dimohon PT TPL dalam rangka memperkuat diri dan kredibilitas, yang sebenarnya bertentangan dengan kenyataan. Karena itu Sucofindo jangan mau diperalat korporate yang merusak lingkungan, alam, dan kehidupan rakyat. (ren, nda,Bn7,int)
Parsadaan Poparan Siahaan Somba Debata Beri Gukungan Moril Bagi Andi Siahaan
 

Dukungan terhadap Andi Siahaan terus mengalir. Kali ini datang dari Keluarga Besar Siahaan. Punguan Parsadaan Siahaan Somba Debata sebanyak 3000 KK se- Kota Pematangsiantar, mendoakan dan memberi dukungan moril, agar Andi Siahaan kuat dan tabah menghadapi cobaan yang tengah menyelimuti dirinya. Hal itu diungkapkan sesepuh Adat keluarga besar Siahaan, DM Ater Siahaan bahwa dukungan moril terhadap Andi, harus diberikan sepenuh hati, sampai adanya keadilan yang seadil-adilnya. Karena Andi Siahaan adalah keturunan yang mewarisi darah Poparan Siahaan Somba Debata. 


DM Ater Siahaan juga mengatakan bahwa keluaraga besar Siahaan akan memberi pembelaan jika memang Andi Siahaan diduga mengalami diskriminasi hukum sebagaimana diberitakan berbagai media massa bahwa Kapolresta AKBP Fatori, Sik, diduga melakukan penganiayaan terhadap Andi Siahaan sewaktu di sel tahanan. Namun, sebaliknya, jika dugaan itu tidak benar, maka keluarga besar Siahaan juga mempersilahkan pihak Kepolisian memproses dengan dasar hukum yang berlaku. “Masyarakat tidak akan diam jika penegakan humum di Kota Pematangsiantar ini terkesan arogan. Masyarakat harus patuh pada hukum, begitu juga dengan aparat penegak hukumnya, harus patuh juga pada hukum. Kita harapkan tidak ada oknum-oknum yang bisa leluasa melakukan diskriminasi hukum di Kota Sapangambei Manoktok Hitei ini,” ungkap DM Ater Siahaan.
Sementara, mencuatnya kasus dugaan penganiayaan terhadap Andi Siahaan di Mapolresta Pematangsiantar, diduga dilakukan Kapolresta AKBP Fatori Sik, berawal dari 10 orang personel Polresta menangkap Andi Siahaan dari rumahnya di Komplek Perumahan BAS, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, Minggu (28/11) dini hari. Andi, diamankan dihadapan istri dan anaknya. Dia disangkakan menganiaya seorang anak berusia 14 tahun di Jalan Merdeka Pematang Siantar.
Menurut keterangan pihak keluarga, Andi adalah korban penyenggolan yang dilakukan sekelompok Anak Baru Gede (ABG) pengendara sepeda motor di Jalan Merdeka. Saat itu, Andi mengejar kelompok ABG tersebut dan menangkap anak yang menyenggolnya. Setelah menyentuh helm anak tersebut, dan memberi nasehat agar tidak ugal-ugalan di jalan raya, Andi membawanya ke Satlantas Polres Siantar, karena anak tersebut pun tak punya SIM.
Dalam perkembangan selanjutnya, itikad baik itu malah dijadikan terbalik oleh Kepolisian dan langsung menetapkan status tersangka terhadap Andi Siahaan melakukan penganiayaan anak di bawah umur. Setelah ditangkap, di kantor polisi pun Andi dan orangtua anak tersebut telah membuat kesepakatan damai. Tetapi pihak Polresta  tidak mengindahkan permohonan pencabutan pengaduan dan tetap menahan Andi. Sedangkan visum luka ABG tersebut diketahui sama sekali tidak ada sebagai bukti adanya tanda-tanda penganiayaan dari Rumah Sakit. Karena saat itu Andi hanya menyentuh helm yang dipakai ABG tersebut. Dalam sel tahanan terungkap pengakuan dari Andi Siahaan yang juga wartawan Trans TV ini melalui keluarganya bahwa dirinya mendapat perlakuan buruk dari Kapolresta AKBP Fatori, Sik. Berita diberbagai media massa pun mencuat luas memberitakan Andi Siahaan diduga mengalami penganiayaan oleh Kapolresta AKBP Fatori, Sik. (ren)
Hutangku Menumpuk Lampu Jalanku Tak Hidup


Alangkah malangnya nasib masyarakat sebagai pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Rayon Siantar. Jika rekening tak dibayar atau tertunggak, langsung mendapat perlakuan pemutusan jaringan aliran listrik. Tak hanya kutipan rekening belaka, kutipan retribusi penerangan jalan umum pun selalu dikenakan kepada masyarakat. Kondisi miris ini sudah menjadi ‘menu spesial’ sebagai masyarakat awam.  Tak heran jika banyak keluhan masyarakat terpaksa berhutang kepada orang lain demi mempertahankan listriknya tidak sampai diputus pihak PLN. Sedihnya, kalau masyarakat menuntut kompensasi kutipan itu malah tak disalurkan secara merata oleh Pemeritah Daerah. Khususnya tentang penerangan lampu jalan umum. Disana sini, banyak ditemukan jalanan pemukiman penduduk yang gelap gulita dikala malam hari.















                                                                 Timbul Lingga


Padahal, selama ini biaya retribusi penerangan jalan umum sebesar 10 persen dari nilai rekening listrik tiap pelanggan, wajib desetor kepada pihak PLN. Jumlah uang yang rata-rata mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah dari tiap pelanggan, selama bertahun-tahun pula belum memberi rasa nyaman bagi masyarakat dengan adanya lampu penerangan yang seharusnya disediakan Pemerintahan Kota (Pemko) Pematangsiantar.

Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan program Pemerintah Kota Pematangsiantar setiap tahun menganggarkan biaya pengadaan lampu jalan umum. Seperti tahun anggaran 2010, Pemko Pematangsiantar melaui Dinas Pertambangan dan Energi (Pertamben) yang dipimpin Drs. Hasangapan Tambunan menggelontorkan dana sebesar Rp5,6 Milliar untuk pengadaan lampu jalan sebayak 1500 unit.

Proyek ini pun tampaknya kental dengan dugaan pelanggaran hukum. Keterangan dari sang Kadis Pertamben Hasangapan Tambunan saat ditemui diruang kerjanya beberapa pekan lalu memberitahukan bahwasanya pihaknya sengaja tidak menjalankan proyek bernilai miliaran rupiah ini dengan cara tender. Alasanya, dia beranggapan jika tidak ditenderkan, akan melibatkan masyarakat setempat. Tentunya, kebijakan ini sudah salah kaprah,  karena melanggar Keppres tahun 2002 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menekankan jika nilai proyek mulai ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah, harus dilakukan dengan cara lelang.

Artinya, ketentuan hukum ini ‘tak bertaring’ dibandingkan kebijakan sang Kadis Pertamben Hasangapan Tambunan. Ada indikasi kuat bahwa sang Kadis berkonspirasi dengan pihak rekanan menjalankan proyek ini dengan usaha tidak sehat. Data diperoleh The Local News dari berbagai sumber, layak dijadikan referensi pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menelusuri latar belakang proyek miliaran rupiah ini tidak ditenderkan oleh Dinas Pertamben. Jika ditemukan kejanggalan yang sangat menonjol, tidak tertutup kemungkinan pula dilanjutkan ke lembaga penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi. 
Pasalnya, pengakuan sang Kadis Hasangapan Tambunan dirinya sengaja memberi pekerjaan proyek fisik membuat dan mendirikan tiang lampu penerangan jalan umum ini kepada organisasi jasa kelistrikan yang salah satunya AKLI (Asosiasi Kontruksi Listrik Indonesia) cabang Siantar. Nilai proyek pun dipecah-pecah. Mulai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Informasi dihimpun The Local News, bahwa proyek tersebut diduga dimonopoli oleh satu rekanan (kontaktor). Sehingga dalam pelaksanaannya tidak melalui proses tender terbuka, melainkan Pemilihan Langsung (PML) dan Penunjukan Langsung (PL). Dalam pengerjaannya, proyek ini dipecah menjadi 121 paket.
 Tetapi, Dirinya mengakui jika nilai proyek mencapai ratusan juta rupiah sesuai Kepres tersebut, seharusnya di tenderkan.  Faktanya, proyek disalurkan dengan cara pemilihan langsung dan penghunjukan langsung kepada organisasi asosiasi kelistrikan. Sejak proyek ini dijalankan, hingga sekarang tak satu tiang pun yang sudah nyala menerangi jalan umum pemukiman penduduk kota.

Sedangkan, secara fisik nilai Rp5,6 miliar untuk pemasangan 1500 unit lampu jalan umum, sesuai pengamatan The Local News di beberapa lokasi, bahwa kualitas barang diduga tak sesuai dengan uang yang disalurkan. Tiang-tiang terbuat dari besi pipa yang cukup tipis dengan ukuran yang cukup kecil pula. Besi pipa itu ditanam di sekitar pinggiran jalan yang beberapa diantaranya terlihat sudah miring. Bahkan tumbang. Kondisi itu ditemukan di Jalan Rakuta Sembiring Kecamatan Siantar Martoba. Tetapi tak lama kemudian posisi miring itu langsung diperbaiki. Artinya, kondisi tersebut merupakan implikasi adanya dugaan ketidak becusan pelaksanaan kegiatan tersebut.

Ketika The Local News mempertanyakan kembali kendala belum maksimalnya pengerjaan lampu jalan yang anggarannya ditampung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pematangsiantar Tahun 2010, Drs Hasangapan Tambunan yang ditemui diruang kerjanya, Senin pekan lalu,  tidak dapat memberikan keterangan rinci. "Kan masih banyak yang perlu kalian beritakan. Tunggulah dulu rampung semua. Udah pusing aku dibuat masalah ini. Sampai-sampai Tim Inspektorat Propinsi dua kali turun kemari," ungkapnya sembarai mengatakan Tim tersebut sedang berada di Kota Pematangsiantar melakukan pemeriksaan pelaksanaan proyek pengadaan lampu jalan ini.

Jauh sebelumnya, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pematangsiantar telah memberikan komentar tentang proyek ini. Seperti halnya diungkapkan Timbul Lingga, SH selaku Wakil Ketua DPRD Siantar kepada sejumlah wartawan usai melakukan kunjungan kerja ke Dinas Pertambangan Kota Pematangsiantar, mengatakan proyek pemasangan lampu jalan ini dinilai sebagai pemubaziran anggaran rakyat Siantar. Terlebih mengingat perencanaannya tidak dilakukan dengan profesional.

"Bagaimana tidak menjengkelkan...?" ucap Supardi warga Tojai Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar.  “Lihatlah tiang-tiang ini sudah lama dipasang, tapi sampai sekarang tak juga hidup," katanya menunjukkan salah satu tiang lampu jalan yang sudah berdiri dan dilengkapi lampu, namun belum dialiri arus listrik.

Sebagai pelanggan PLN yang takut menunggak pembayaran, karena takut diputus pihak PLN ini merasa sangat kesal dengan kutipan uang penerangan jalan sedangkan hingga sekarang tidak bisa menikmati terangnya lampu jalan. "Heran kita melihat Pemerintah ini. Katanya dari rakyat untuk rakyat. Nyatanya tidak.!," ketusnya menyebut sistim birokrasi pemerintahan di Kota Pematangsiantar belum mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat luas.

Penunggakan Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Langganan (BPUJL) yang tidak dibayarkan Pemko Siantar kepada PLN, pun dijadikan sebagai dalih tidak dapat difungsikannya lampu-lampu jalan yang sudah terpasang. Padahal, pengadaan fisik tiang-tiang dan lampu malah dialokasikan mencapai Rp5,6 miliar. Salah seorang warga lainnya Dian Purba yang juga Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Simalungun (FORKOMASI) mengatakan kejadian ini adalah potret buruk kinerja Distamben yang sangat jauh dari kalimat profesional.

"Sama DPRD saja mereka (Distamben red) memberikan jawaban dalih sana dalih sini. Bagaimana lagi kalo rakyat biasa yang bertanya? Pastilah makin dicuekin. Tapi jangan salah, masyarakat tidak akan tinggal diam. Jika proyek ini ternyata sarat dengan dugaan KKN, maka massa akan mendesak secara terus-menerus agar pihak penegak hukum mengusut tuntas. Mana ada lagilah di jaman sekarang ini kebal hukum. Kasus Gayus Tambunan saja bisa menyeret petingi-petinggi di Negara ini. Konon lagi pejabat di tingkat daerah?," kata Dian menyesalkan tindakan Distamben dan sikap DPRD yang tidak dapat memberikan ketegasan atas permasalahan yang tengah terjadi dalam pemasangan lampu jalan di Kota Siantar.

"Ini namanya proyek asal-asalan. Tidak ada perencanaan terlebih dahulu. Saya kira bukan disitu letak persolannya," ujarnya menduga bahwa Distamben Siantar mencari keuntungan sendiri, dengan melihat awal pelaksanaan proyek tersebut dilakukan menjelang Pemilihan Umum Kepala dan Wakil Kepala Daerah (PEMILUKADA) Kota Pematangsiantar, 9 Juni 2010. Artinya, ada dugaan kaitan pilkada lalu dengan dana proyek. 

"Bukan rahasia umum lagi proyek ini dijadikan ajang kampanye," kata Dian menyebutkan pengerjaan Proyek pengadaan lampu jalan yang dilakukan sekitar bulan Maret 2010 lalu, tidak lain diduga untuk meraih simpati masyarakat untuk memilih mantan Walikota Pematangsiantar, Ir RE Siahaan,” ungkap Dian.

Belum maksimalnya pelaksanaan proyek pengadaan lampu jalan, meski Tahun Anggaran 2010 sudah akan berakhir, sejumlah warga Siantar menilai bahwa proyek ini sebagai pabrik barang bekas. Diduga kuat tiang-tiang lampu jalan yang dipasang lebih dominant t barang bekas yang dibayar hingga Rp5,6 miliar. (hry)