Selasa, 07 Desember 2010

Leluasanya Aksi Anarkis Penguasa Mengambil Alih  Lahan Garapan Warga Pulo Sarana


“Kami berharap Pemerintah ikut campur dalam persoalan ini. Karena kami sah secara hukum sebagai warga negara wajib dilindungi oleh pemerintah.  Antara hak dan kewajiban harus diselaraskan memberi keadilan antara penguasa, pengusaha dengan rakyat. Kami mohonlah Bapak Bupati Simalungun yang baru JR Saragih bertindak membela rakyat jelata seperti kami ini. Kami merasakan sakitnya tindakan anarkis dari mereka. Apakah anarkis itu tidak melakukan tindak pidana? Kami ini manusia pak, kami ini bukan untuk disiksa orang lain. Ini melanggar hak azasi manusia,” teriak masyarakat Pulo Sarana sembari menahan rasa sakit dan perih setelah menerima bogeman dan hantaman mentah dari buruh PTPN IV dan Pamswakarsa, karena dituduh menyerobot lahan kebun milik PTPN IV.
Jumat pekan lalu, merupakan pengalaman yang sangat tragis bagi warga Pulo Sarana Kecamatan Huta Bayuraja Kabupaten Simalungun. Karena terlibat sengketa tanah dengan pihak PTPN IV di lahan perladangan seluas 141,13 hektar, masyarakat ini harus menerima tindakan anarkis yang nota bene melanggar hukum pidana. Kejadian memilukan ini terjadi, karena sejak tahun 1998 masyarakat mengusahai lahan tersebut dengan bercocok tanam Palawija. Tak terima lahan itu dikelola warga, Pihak PTPN IV bersama polisi di bantu Buruh dan Panswakarsa secara paksa mengusir dan memukuli masyarakat yang mencoba mempertahankan lahan tersebut.
Menurut keterangan pengurus kelompok Tani Madani (penggarap) J. Ritonga, bahwa lahan tersebut sudah diusahai warga sejak tahun 1954. Mereka bercocok tanam dilahan itu  karena telah disahkan oleh pemerintah lewat UU Darurat No 8 tahun 1956,  dilengkapi terbitnya surat KRPT (Kartu Registrasi Pemilikan Tanah). “Inilah yang menjadi alas hak kepemilikan kami atas tanah ini. Apakah kami salah bertahan hidup demi sesuap nasi dari tanah kami sediri?,” ungkap Ritonga dengan suara yang agak memelas kesedihan.
Dikatakan, setelah alas hak itu mereka terima dari pemerintah, lantas  tahun 1969-1970, pihak perkebunan mengambil paksa lahan tersebut yang pada saat itu dilakukan dengan cara intimidasi menempatkan personil TNI AD. “Saat itu kami diancam dengan perkataan kalau tidak mau mengasi tanah ini, berarti kalian Barisan Tani Indonesia (BTI). Dengan berat hati kamipun terpaksa meninggalkan lahan itu daripada dituduh BTI. Yang sedihnya, tanah kami sudah dirampas, malah di isukan pula kami ini sudah menerima ganti rugi. Hanya rakyat jelata saja yang bisa ditindas para penguasa ini,” ungkap Ritonga kesal.
Setelah reformasi bergulir dari eranya Orde Baru, warga ini pun berjuang mengambil alih hak atas lahan 141,13 hektar itu. Sampai saat ini upaya hukum masih ditempuh agar pemerintah mensahkan hak warga atas tanah tersebut. Terbukti pula bahwa persoalan ini sudah di Mahkamah Agung dan status hukumnya kini peninjauan kembali (PK).



Tapi apa yang terjadi? tanggal 19-11-2010 merupakan hari bersejarah bagi warga kelompok tani Madani. Diduga mereka ini sebagai korban ketidak adilan dari Pemerintah sendiri. Sempat pula mereka terlena menaruh harapan dengan hadirnya wakil rakyat Propinsi Sumatera Utara (Propsu) Janter Sirait dan Japorman Saragih. Walau pertemuan dengan wakil rakyat ini cukup singkat dengan ragam janji akan menuntaskan sengketa tersebut membuat membuat warga sedikit lega. “Kami jadi terlena mempertahankan hak kami karena kedua wakil rakyat itu mengatakan bahwa eksekusi tanah ini tidak jadi menunggu hasil lobi-lobi,” kata Ritonga.



Namun apesnya, sepeninggalan para wakil rakyat itu berselang 3 jam, pihak kepolisian  kebun dan hansip dibantu Panswakarsa datang. Semua Massa petani penggarap diusir dan ditangkapi sembari dipukuli. “Hal inilah yang kami sesalkan. Kehadiran polisi itu saya kira sebagai Poliri Republik Indonesia (Polri) yang memihak rakyat jelata. Ternyata tidak. Itu terbukti dengan tindakan yang mereka lakukan terhadap kami. Ketika pihak kebun melakukan penganiayaan malah dibiarkan. Ketika kami melawan tindakan anarkis itu kami ditangkapi dan dipukuli,” keluh Ritonga merintih.





                                              
                                                
                                                 Bupati Simalungun JR Saragih SH





Albert R Saragih







                                                                                                                                            Binton Tindaon

PTPN IV Dikecam Soal Anarkisme Pulo Sarana

Kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak PTPN, bukanlah hal baru di Kabupaten Simalungun. Bahkan konflik terbuka antara keduanya sudah kerap terjadi. Menurut sebagian pihak, terjadinya konflik kerap dipicu oleh sikap arogansi PTPN. Lantas, bagaimanakah Pemkab dan DPRD akan bersikap?

Konflik antara PTPN IV dengan masyarakat petani Pulo Sarana Kecamatan Hutabayu Rajayang terjadi beberapa waktu lalu, menarik perhatian banyak pihak. Peristiwa itu seolah mengingatkan kembali betapa banyaknya kasus sengketa tanah di bumi Habonaron Do Bona ini, yang tidak kunjung selesai.

Dalam peristiwa tersebut, tindakan PTPN IV yang mendatangkan aparat kepolisian serta mengerahkan karyawan kebun dan Pamswakarsa untuk mengusir masyarakat petani Pulo Sarana dari lahan yang dipersengketakan, mendapat kecaman dari banyak pihak. Termasuk Ketua DPRD Simalungun ikut mengecam. Pasalnya, tindakan PTPN IV tersebut dinilai seolah hendak menegaskan bahwa merekalah pemilih sah lahan sengketa itu. Padahal, hingga saat ini, Makamah Agung (MA) belum mengeluarkan putusan atas pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut.

“Seharusnya PTPN tidak mendatangkan Polisi dan mengerahkan karyawannya untuk mengusir para masyarakat petani karena hingga saat ini putusan MA belum turun,” demikian kata Binton Tindaon saat ditemui The Local News Senin pekan ini di sekitar gedung DPRD.

Selanjutnya, guna mengetahui lebih mendalam soal sengketa lahan antara warga petani Pulo Sarana dan pihak PTPN IV yang sampai menciptakan konflik fisik beberapa waktu lalu,  kata Binton dalam waktu dekat DPRD akan memanggil kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam pertemuan nanti, pihaknya akan mencoba menelusuri beberapa hal termasuk seperti apa sesungguhnya legalitas yang dimiliki PTPN atas lahan sengketa itu, dan juga memberikan pemahaman bagi masyarakat petani atas hak-hak yang dimiliknya.

“Kami akan mengundang kedua belah pihak ke DPRD. Nanti akan kita coba lihat seperti apa detil masalahnya dan seperti apa legalitas PTPN atas lahan sengketa itu. Kami juga akan memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang hak-hak yang dimilikinya,” sebut Binton. 
Lebih jauh, politisi asal partai Golkar ini mengatakan seandainya pun kelak warga dinyatakan kalah dalam putusan MA, pihaknya akan terus mengawal masyarakat untuk memastikan bahwa semua hak-hak masyarakat telah diberikan. “Seandainya kelak ada hak-hak yang tidak terakomodir, DPRD akan berupaya supaya masyarakat menerima hak dimaksud,” katanya.

Selain DPRD, pihak Pemkab Simalungun juga berencana melakukan hal yang sama. Pemkab juga akan memanggil kedua belah pihak yang bersengketa.

Albert R Saragih, selaku Kabag Administrasi Pemerintahan Umum (Adpenum), yang ditemui pada hari yang sama di ruang kerjanya, mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan mengundang PTPN IV dan masyarakat yang ikut berkonflik melakukan pertemuan.

Albert juga mengaku kecewa terjadinya konflik tersebut. “Masyarakat sudah menanami tanaman, mbok ya pihak PTPN mengerti dan membiarkan tanaman itu tumbuh hingga masyarakat memanen sampai putusan PK MA turun,” kata Albert.

Di sisi lain, Albert juga menolak peristiwa anarkis sebagai eksekusi dari PTPN IV. Sebab menurutnya, jika eksekusi dilakukan seharusnya dihadiri pihak pengadilan. “Yang hadir justru hanya aparat kepolisian,” ungkapnya menanggapi ulah PTPN IV melakukan aksi pembersihan tanaman petani secara anarkis.  

Lebih lanjut, ia mengaku cukup memahami peristiwa konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pihak PTPN IV. Alasannya, sebelum dirinya dilantik beberapa hari lalu juga menjabat Camat di Kecamatan Hutabayu Raja.

Dari amatannya, kata Albert, sengketa perebutan lahan seluas 141,13 hektar yang berujung konflik itu terjadi karena sikap arogansi PTPN. Sisi lainnya, akibat ketidak jelasan alas hak yang dimiliki petani. 

“Sebelum putusan PK MA turun, kita akan berupaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kedua belah pihak dengan mengupayakan pertemuan,” ujarnya.   

Bupati Belum Pahami Persoalan

Saat Bupati Simalungun JR Saragih SH ditanyai tentang sikapnya atas terjadinya konflik sengketa lahan antara masyarakat Pulo Sarana dengan PTPN IV, mengaku belum bisa memastikan apa kebijakan yang akan dilakukan karena belum mengetahui perihal sengketa tersebut.

Alasannya, sejak ia dilantik belum satu pun stafnya yang pernah memberitahukan perihal sengketa itu bahkan termasuk bupati sebelumnya Zulkarnain Damanik.

“Saya belum pelajari konflik itu. Terus terang,  ketika saya serah terima dari bupati yang lama tidak tidak pernah dikatakan ada permasalahan di PTPN IV. Nah, tiba-tiba peristiwa itu terjadi, saya harus pelajari dulu duduk persoalannya. Memang tidak ada laporan kepada saya baik dari PTPN IV  maupun instansi di Pemkab ini,” jelas JR Saragih ditemui The Local News usai melantik sejumlah pejabat eselon II dan III, Jumat pekan lalu

Begitupun katanya Bupati dalam waktu dekat ini akan menyikapi permasalahan itu dengan melakukan koordinasi ke lembaga DPRD  agar mengundang masyarakat dan pihak PTPN menggelar pertemuan bersama pihak Eksekutif.

“Kami akan merencanakan pertemuan dengan PTPN IV termasuk dengan PTPN III untuk membicarakan permasalahan itu. Saya sudah himbau kepada Camat untuk menetralisir situasi dan menenangkan semua masarakat,” ungkapnya.
Sementara aspirasi dari masyarakat terungkap harapan kiranya Pemerintah Kabupaten Simalungun ikut campur dalam persoalan ini. “Kami ini sah secara hukum sebagai warga negara yang wajib dilindungi oleh pemerintah.  Antara hak dan kewajiban harus diselaraskan memberi keadilan antara penguasa, pengusaha dengan rakyat. Kami mohonlah Bapak Bupati Simalungun yang baru JR Saragih bertindak membela rakyat jelata seperti kami ini. Kami merasakan sakitnya tindakan anarkis dari mereka. Apakah anarkis itu tidak melakukan tindak pidana? Kami ini manusia pak, kami ini bukan untuk disiksa orang lain. Ini melanggar hak azasi manusia,” teriak masyarakat Pulo Sarana saat kejadian kontak fisik dengan aparat keamanan sembari menahan rasa sakit dan perih menerima bogeman mentah dan hantaman dari buruh PTPN IV dan Pamswakarsa, karena dituduh menyerobot lahan kebun milik PTPN IV. 
Jumat pekan lalu, merupakan pengalaman yang sangat tragis bagi warga Pulo Sarana Kecamatan Huta Bayuraja Kabupaten Simalungun. Karena terlibat sengketa tanah dengan pihak PTPN IV di lahan perladangan seluas 141,13 hektar, masyarakat ini harus menerima tindakan anarkis yang nota bene melanggar hukum pidana. Kejadian memilukan ini terjadi, karena sejak tahun 1998 masyarakat mengusahai lahan tersebut dengan bercocok tanam Palawija. Tak terima lahan itu dikelola warga, Pihak PTPN IV bersama polisi di bantu Buruh dan Panswakarsa secara paksa mengusir dan memukuli masyarakat yang mencoba mempertahankan lahan tersebut.
Menurut keterangan pengurus kelompok Tani Madani (penggarap) J. Ritonga, bahwa lahan tersebut sudah diusahai warga sejak tahun 1954. Mereka bercocok tanam dilahan itu  karena telah disahkan oleh pemerintah lewat UU Darurat No 8 tahun 1956,  dilengkapi terbitnya surat KRPT (Kartu Registrasi Pemilikan Tanah). “Inilah yang menjadi alas hak kepemilikan kami atas tanah ini. Apakah kami salah bertahan hidup demi sesuap nasi dari tanah kami sediri?,” ungkap Ritonga dengan suara yang agak memelas kesedihan.
Dikatakan, setelah alas hak itu diterima dari pemerintah, lantas  tahun 1969-1970, pihak perkebunan mengambil paksa lahan tersebut yang pada saat itu dilakukan dengan cara intimidasi menempatkan personil TNI AD. “Saat itu kami diancam dengan perkataan kalau tidak mau mengasi tanah ini, berarti kalian Barisan Tani Indonesia (BTI). Dengan berat hati kamipun terpaksa meninggalkan lahan itu daripada dituduh BTI. Yang sedihnya, tanah kami sudah dirampas, malah di isukan pula kami ini sudah menerima ganti rugi. Hanya rakyat jelata saja yang bisa ditindas para penguasa ini,” ungkap Ritonga kesal. 
Setelah reformasi bergulir dari eranya Orde Baru, warga ini pun berjuang mengambil alih hak atas lahan 141,13 hektar itu. Sampai saat ini upaya hukum masih ditempuh agar pemerintah mensahkan hak warga atas tanah tersebut. Terbukti pula bahwa persoalan ini sudah di Mahkamah Agung dan status hukumnya kini peninjauan kembali (PK).
Tapi apa yang terjadi? tanggal 19-11-2010 merupakan hari bersejarah bagi warga kelompok tani Madani. Diduga mereka ini sebagai korban ketidak adilan dari Pemerintah sendiri. Sempat pula mereka terlena menaruh harapan dengan hadirnya wakil rakyat Propinsi Sumatera Utara (Propsu) Janter Sirait dan Japorman Saragih. Walau pertemuan dengan wakil rakyat ini cukup singkat dengan ragam janji akan menuntaskan sengketa tersebut membuat membuat warga sedikit lega. “Kami jadi terlena mempertahankan hak kami karena kedua wakil rakyat itu mengatakan bahwa eksekusi tanah ini tidak jadi menunggu hasil lobi-lobi,” kata Ritonga.
Namun apesnya, sepeninggalan para wakil rakyat itu berselang 3 jam, pihak kepolisian  kebun dan hansip dibantu Panswakarsa datang. Semua Massa petani penggarap diusir dan ditangkapi sembari dipukuli. “Hal inilah yang kami sesalkan. Kehadiran polisi itu saya kira sebagai Poliri Republik Indonesia (Polri) yang memihak rakyat jelata. Ternyata tidak. Itu terbukti dengan tindakan yang mereka lakukan terhadap kami. Ketika pihak kebun melakukan penganiayaan malah dibiarkan. Ketika kami melawan tindakan anarkis itu kami ditangkapi dan dipukuli,” keluh Ritonga merintih. (nda/Gis/Jos)
           

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar