Cermin Keadilan di Simalungun ‘Retak’
Terdakwa Korupsi Tidak Ditahan, Pelajar Bawah Umur Masuk Bui
Laporan : Herman Maris Sinaga
Dunia peradilan di Kabupaten Simalungun ‘kembali’ melukai rasa keadilan. Bagaimana tidak, terdakwa kasus korupsi Bonar Ambarita dkk tidak ditahan alias ‘bebas’ diluaran menghirup udara segar, tapi tidak demikian dengan nasib empat pelajar yang masih berusia dibawah umur, oleh jaksa dan hakim malah dibuikan,
Paling tidak itulah kini yang ‘dipertontonkan’ pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun dan Pengadilan Negeri (PN) Simalungun ke hadapan publik di Kabupaten yang dijuluki dengan falsafah ‘Habonaron do Bona’ (Kebenaran adalah Utama) itu.
Keempat pelajar yang dibuikan jaksa sejak 18 Nopember 2010 di LP Anak Siantar itu adalah AA (17) pelajar SMA Kelas 1, WM (14), MM (16) dan RS (14) ketiganya pelajar SMP. Anak-anak ‘nakal’ ini adalah penduduk Desa Manik Maraja, Kecamtan Sidamanik Kabupaten Simalungun.
Dalam kasus ini mereka dijerat ancaman Pasal 363 ayat 1 ke 4 KUH Pidana sebagai tersangka/terdakwa kasus pencurian knalpot sepeda motor bekas milik Iwan Haloho penduduk Desa Ambarisan, Kecamatan Sidamanik
Sebenarnya, kasus pencurian itu terjadi enam bulan lalu, tepatnya tanggal 28 Mei 2010 pukul 22.00 wib di sebuah lokasi Biliard di desa itu. Knalpot sepeda motor milik Iwan yang parkir di depan tempat biliar mereka preteli. Apes, malam itu juga keempat pelajar itu diringkus petugas Polsek Sidamanik berikut barang bukti.
Penangkapan keempat anak bawah umur pada amalam hari itu tidak diketahui keempat orang tua mereka. Barulah keesokan harinya, tepatnya 29 Mei 2010 keempat orang tua anak itu mendengar kabar kalau anak mereka masuk bui Polsek Sidamanik.
Atas saran polisi dan masyarakat serta Kepala Desa Manik Maraja, Suroso, akhirnya perdamaian ditempuh. Tanggal 31 Mei 2010 perdamaian antara Iwan Haloho dan pihak keempat keluarga anak itu dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai cukup dan disaksikan Dua Kepala Desa, yaitu Kepala Desa Manik Maraja dan Kepala Desa Ambarisan, R Purba dan sejumlah saksi lainnya dengan mebayar ganti rugi Rp400 ribu kepada Iwan Haloho.
Salah satu isi dari butir perdamaian menjelaskan ‘pihak saksi korban yaitu Iwan Haloho tidak akan melakukan tuntutan hukum terhadap keempat anak yang masih di bawah umur itu’. Berdasarkan bukti surat perdamaian inilah akhirnya polisi mengeluarkan keempat pelajar itu dari sel tahanan.
Namun, enam bulan setelahnya, atau tepatnya tanggal 18 Nopember 2010, pihak penyidik Polsek Sidamanik melayangkan surat pemanggilan terhadap keempat anak tersebut. Dengan rasa bingung, para orangtua anak itu terheran-heran. “Kenapa anak kami dipanggil lagi,” tukas Elpina Saragih orang tua Aker Ambarita. Tapi jawaban polisi ketika itu mengatakan hanya untuk pembinaan saja di kejaksaan.
Walau mengaku sangat awam hukum, namun sebagai warga Negara yang baik permintaan polisi itu dituruti. Selanjutnya, para orang tua dan keempat anak mereka berangkat ke kantor Kejari Simalungun Jalan Asahan yang jaraknya kurang lebih 30 km dari Desa Manik Maraja.
Naas, setelah melalui proses birokrasi dan berbagai pertanyaan panjang, akhirnya keempat anak nakal itu dijebloskan ke sel tahanan. Alasan kepada wartawan, sebagaimana isi lembaran Nota Pendapatnya menjelaskan, keempat anak itu terpaksa ditahan karena tidak ada orangtua atau keluarganya yang mau membuat pernyataan menjamin.
“Kami bukan tidak mau menjamin, tapi karena waktu itu jaksa meminta agar kami melampirkan bukti KTP,” kata Elpina. Kebetulan keempat orang tua anak itu tak satupun yang ada membawa KTP atau identitas lainnya.
Selain itu, ketika berkasnya digiring polisi ke Kejari Simalungun, keempat anak itu tidak didampingi pengacara ataupun petugas Peneliti Kermasyarakatan (Litmas) sebagaimana diwajibkan dalam UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Lebih dipertanyakan lagi, selama dalam penyidikan keempat anak itu juga diduga tidak disidik oleh penyidik polisi anak dan jaksa juga harusnya jaksa anak yang masih-masing mendapatkan surat penugasan khusus dari Kapolri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagaimana diharuskan oleh UU No 3 tersebut.
Bahkan ketika perkaranya pertama kali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Senin (29/11), keempatnya juga tidak didampingi pengacara dan petugas Litmas. Hakim tunggal yang menyidangkan perkaranya, Irwansyah, tidak membantah kalau keempatnya tidak didampingi pengacara.
Tapi jawab hakim itu ketika ditanya mengenai tidak ada petugas Litmas dan pengacara? “Tidak harus, kan orangtuanya sudah hadir dalam ruang sidang mendampingi,” katanya singkat. Sidang itu terpaksa ditunda hakim, karena saksi korban dan saksi lainnya tidak hadir dan Irwansyah menetapkan siding dilanjutkan kembali hari Rabu (1/12).
Ditanya lagi, apakah keempat anak itu tidak bisa dikeluarkan atau ditangguhkan penahanannya agar anak itu dapat melanjutkan sekolahnya? Irwansyah sambil senyum dengan ringannya berkata “Kalau kami keluarkan, kami akan digari dan dipenjarakan,” katanya sambil memperagakan tangan layaknya digari.
Ditanya lagi, “ Kan prosedur penangguhan sesuai ketentuan UU dapat ditempuh?” Dijawab hakim itu lagi, “Nantilah kita lihat dalam sidang lanjutan hari Rabu ini,” katanya sambil berlalu menuju ruang kerjanya.
Terdakwa Korupsi Tidak Ditahan
Tidak demikian halnya dengan oknum anggota DPRD Simalungun, Bonar Ambarita dkk yang didakwa jaksa dari Kejari yang sama dalam kasus korupsi, justru bebas menghirup udara segar alias tidak ditahan.
Terdakwa yang diancam melanggar Pasal 12 ayat 1 UU No 20 tahun 2001 jo UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUH Pidana ini sudah sudah dituntut jaksa selama 18 bulan penjara.
Tapi, ada hal aneh dalam proses persidangan Ambarita dkk ini. Seyogyanya, sidang putusan dilaksanakan Senin (29/11) untuk mendengar putusan. Tapi Ketua Majelis Hakim Gabe Doris SH mengatakan, sidang putusan ditunda karena terdakwa yang tidak ditahan itu tidak hadir di persidangan.
Padahal, pantauan sejumlah wartawan, terdakwa ketika itu sejak pukul 10.45 wib ada datang ke PN Simalungun, bahkan salah satu wartawan locals empat mengabadikan kehadiran terdakwa dengan kamera.
Menanggapi kasus anak ini, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait yang dihubungi Koran ini melalui sambungan telepon Selasa (30/11) dengan tegas mengatakan agar hakim PN Simalungun menghentikan persidangan terhadap keempat anak itu.
Alasan Merdeka Sirait, kuat dugaan proses penyidikan terhadap anak tidak dilakukan sebagaimana diharuskan dalam UU Perlindungan Anak dan UU Pengadilan Anak. Dia mencontohkan, dalam setiap tahapan pemeriksaan, seharusnya si anak yang masih di bawah umur didampingi Litmas dan pencara, bukan hanya di penyidik Polisi tapi juga di Kejaksaan dan Pengadilan.
Fakta tidak adanya pengacara dan Litmas ini kata Arist Merdeka Sirait diakui sendiri oleh Irwansyah selaku hakim tunggal yang menyidangkan sebagaimana ditegaskan hakim itu kepada wartawan seusai sidang.
Polisi, Jaksa dan hakim yang menanganai proses penyidikan, tuntutan dan peradilan juga katanya harus khusus yang sudah mendapat rekekomendasi khuusus tetang anak dari atasan tertinggi masing-masing.
Selain itu, ketika di kepolisian perkaranya juga sudah didamaikan dikuatkan bukti pernyataan damai bermaterai cukup dan disaksikan dua Kepala Desa, yaitu Kepala Desa Manik Maraja dan Kepala Desa Ambarisan di Kecamatan Sidamanik.
“Jika demikian faktanya, kita dari Komnas PA mendesak hakim PN Simalungun untuk tidak melanjutkan proses perseidangannya. Hentikan itu,” tukas Arist Merdeka Sirait dengan nada sangat tegas. Bahkan Arist mengatakan, akan menurunkan petugas Komnas PA turun ke Simalungun untuk meneliti kasusnya.
Demikian juga Binaris Situmorang SH, aktifis hukum yang mendalami hukum anak ini sependapat dengan Arist Merdeka. “Cermin keadilan di Simalungun sepertinya sudah retak,” kata Binaris.
Menurutnya, ada diskriminasi dalam perlakukan hukum di Simalungun khususnya dan Indonesia umumnya. Dia mencontohkan fakta-fakta tidak sedikit kasus korupsi yang tersangka dan terdakwanya tidak ditahan, tapi masalah anak yang masih dibawah umur dan pelajar di Simalungun malah dibuikan. “Ini diskriminasi namanya. Nurani keadian itu sepertinya sudah sangat menipis,” tandasnya.(hrm).
Assalamualaikum. Saya ingin mencari sahabat yang tinggal di Desa Ambarisan, apa boleh di berikan petunjuk arah dari Medan untuk sampai ke tempat itu. Harap dapat pertolongan. Terima kasih.
BalasHapusAzman Kuala Lumpur.